KORUPSI MILITER DALAM PERADILAN DI INDONESIA
A.
Latar
Belakang
Korupsi
dalam praktek hukum di Indonesia selama ini telah menjadi isu sentral. Korupsi
merupakan penyakit yang berbahaya dan mengancam segala aspek kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pemberitaan kasus korupsi sangat
mencolok sejak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beroperasi dan bekerja
efektif. Kasus-kasus korupsi yang terjadi di ranah eksekutif, legislatif, dan
yudikatif mewarnai pemberitaan media massa dan menjadi perhatian publik dari
hari ke hari. Di sisi lain terdapat dugaan kasus korupsi di ranah militer yang cenderung
memiliki publikasi yang sangat kecil sedangkan resiko korupsinya tinggi.
Kasus
korupsi di kalangan militer yang mendapatkan perhatian publik dan diselesaikan
dengan baik yaitu Lembaga peradilan militer menjatuhkan hukuman penjara empat
tahun kepada Jenderal Djaja Suparman yang dinilai terbukti bersalah melakukan
tindak pidana korupsi senilai Rp 13,3 miliar. Kasus yang membelit Djaja terkait
pelepasan aset tanah Kodam V/Brawijaya di Kelurahan Dukuh Menanggal, Wonocolo,
Surabaya, yang terkena proyek pembuatan Jalan Tol Simpang Susun Waru-Tanjung
Perak. Selain itu, dugaan kasus korupsi dalam pengadaan alat utama sistem
persenjataan juga mengemuka. Misalnya, koalisi lembaga swadaya masyarakat (LSM)
yang terdiri dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Kontras, dan Imparsial pada
Maret 2012 melaporkan institusi militer ke KPK atas dugaan korupsi dalam
pengadaan pesawat tempur Sukhoi. Akan tetapi, sampai sekarang laporan itu belum
ditindaklanjuti. Rupanya, KPK dan juga institusi penegak hukum lain belum
memberikan prioritas tinggi pada pencegahan dan pemberantasan korupsi di sektor
militer.[1]
Lawrence
M. Friedman mengemukakan bahwa terdapat 3 (tiga) unsur dalam suatu sistem hukum
yaitu: substance, structure, dan legal culture. Substance adalah materi atau bentuk dari peraturan
perundang-undangan. Structure yaitu
menyangkut lembaga-lembaga yang berwenang membuat dan melaksanakan
undang-undang (lembaga peradilan dan lembaga legislatif). Legal culture adalah sikap orang terhadap hukum dari sistem hukum
yaitu apa yang disebut sebagai sikap orang terhadap hukum dari sistem hukum,
yaitu menyangkut akan nilai, pikiran atau ide dan harapan mereka.[2]
Korupsi
di Indonesia dari aspek substance
(substansi) yaitu terdapat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan
atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Dasar filosofi pembentukan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, yaitu:[3]
1. Tindak
pidana korupsi yang selama ini terjadi secara luas, tidak hanya merugikan
keuangan Negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak
sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu
digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar
biasa;
2. Untuk
lebih menjamin kepastian hukum, menghindari ragam penafsiran hukum dan
memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta
perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi, perlu diadakan
perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Korupsi
di Indonesia dari aspek structure (struktur)
adalah lembaga peradilan khusus tindak pidana korupsi sebagai lembaga peradilan
yang berwenang menangani perkara korupsi. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 46 Tahun
2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan dengan tegas bahwa
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan satu-satunya pengadilan yang
berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi. Lembaga
peradilan militer yang menangani kasus korupsi merupakan langkah yang berani,
akan tetapi tindakan tersebut seakan menerobos kewenangan lembaga peradilan
tindak pidana korupsi.
Keberadaan
lembaga peradilan sebagai sebuah subsistem peradilan pidana dalam perjalanan
sejarahnya telah dilengkapi dengan berbagai peraturan perundangan yang
diharapkan dapat menjadi bingkai kerangka normatif. Lembaga peradilan
kehadirannya sudah dikawal dengan berbagai macam peraturan perundangan,
seperti: Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman,
dilanjutkan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Revisi Terhadap
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970. Seiring berjalannya waktu, terus terjadi
perubahan-perubahan yang ditampilkan pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986
tentang Peradilan Umum serta Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004. Seperangkat
peraturan perundangan tersebut menunjukkan bahwa peradilan sebagai subsistem
peradilan pidana yaitu secara fungsional dan organisatoris mengalami perubahan
yang cukup signifikan. Secara fungsional, lembaga peradilan mengemban amanah
untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan setiap perkara tindak pidana sesuai
dengan ketentuan undang-undang.[4]
B.
Permasalahan
Berdasarkan
uraian di atas maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan ini yaitu:
1. Bagaimana
korupsi dalam perspektif filsafat ilmu?
2. Bagaimana
yurisdiksi lembaga peradilan tindak pidana korupsi dalam menangani perkara
korupsi yang dilakukan oleh anggota militer?
C.
Pembahasan
1. Korupsi
Dalam Perspektif Filsafat Ilmu
Dalam konstelasi filsafat ilmu, filsafat ilmu
terbagi atas tiga cabang utama, yakni:[5]
a. ontologi;
b. epistemologi;
dan
c. aksiologi.
Ontologi mempersoalkan adanya segala sesuatu yang
ada.[6]
Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang membahas keberadaan
sesuatu yang bersifat konskret. Ontologi mempertanyakan ada sebagai esensi,
bukan proses adanya.[7]
Epistemologi secara garis besar membahas segenap proses dalam usaha memperoleh
kebenaran pengetahuan.[8]
Aksiologi merupakan cabang filsafat yang mempersoalkan tentang nilai.[9]
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi tidak memberikan pengertian yang jelas tentang definisi korupsi
tetapi hanya mengatur ruang lingkup tindak pidana yang diatur dalam
undang-undang tersebut. Ruang lingkup tindak pidana yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat dikelompokkan dua
tindak pidana korupsi, yaitu:[10]
a. Tindak
pidana korupsi yang diatur dalam Pasal 2 sampai 20; dan
b. Tindak
pidana yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang diatur dalam Pasal 21
sampai 24.
Berdasarkan pasal-pasal tersebut dirumuskan
bentuk/jenis tindak pidana korupsi, yaitu:
a. Perbuatan
melawan hukum yang merugikan keuangan Negara;
b. Perbuatan
penyalahgunaan kekuasaan yang merugikan keuangan Negara;
c. Perbuatan
suap-menyuap;
d. Perbuatan
penggelapan dalam jabatan;
e. Perbuatan
pemerasan;
f. Perbuatan
curang;
g. Benturan
kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa;
h. Memberi
atau menerima gratifikasi;
i. Perbuatan
merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi;
j. Tidak
memberi keterangan atau member keterangan yang tidak benar;
k. Bank
yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka;
l. Saksi
atau ahli yang tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan palsu;
m. Orang
yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan
palsu;
n. Saksi
yang membuka identitas pelapor.
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi tersebut maka tindak pidana korupsi dirumuskan secara tegas sebagai
tindak pidana formil.
Menurut Robert Klitgaard, secara
etimologi korupsi berarti kebusukan, kebejatan, tidak jujur, dapat disuap,
tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata yang menghina atau
memfitnah.[11]
Sedangkan menurut J.C.T. Simorangkir, pengertian etimologis korupsi juga
berarti memungut uang bagi layanan yang sudah seharusnya diberikan, atau
menggunakan wewenang untuk mencapai tujuan yang tidak sah.[12]
Menurut Surachmin dan Suhandi
Cahaya, para pakar dalam disiplin ilmu politik tentunya mengenal dalil korupsi.
Rumusan penyelewengan penggunaan uang negara telah dipopulerkan oleh E. John
Emerich Edward Dalberg Acton atau lebih dikenal dengan Lord Acton, yang hidup
pada tahun 1834-1902 di Inggris. Beliau menyebutkan bahwa faktor kekuasaanlah
yang menyebabkan korupsi.[13]
Menurut Marwan Mas bahwa salah satu penyebab korupsi karena adanya paham
kapitalisme telah melahirkan imperialisme dan kolonialisme berupa penjajahan
negara atas negara. Penjajahan yang berlangsung begitu lama menyebabkan
terjadinya pengaburan nilai-nilai sosial yang dianut dalam masyarakat pribumi.
Akibatnya, terjadi distorsi atas nilai-nilai sosial masyarakat, yang kemudian
berimplikasi pada dekadensi moral masyarakat secara sistemik dan
berulang-ulang. Pada akhirnya, tidak dapat dihindari terbentuknya pola pikir
dan emosional secara sistematis yang melahirkan norma baru dalam masyarakat
yang disebut kapitalistik.[14]
Menurut Syed Husein Alatas,
ciri-ciri korupsi dapat diringkas sebagai berikut:
a.
Suatu
penghianatan terhadap kepercayaan;
b.
Penipuan
terhadap badan pemerintah, lembaga swasta, atau masyarakat umumnya;
c.
Dengan
sengaja melalaikan kepentingan umum untuk kepentingan khusus;
d.
Dilakukan
dengan rahasia, kecuali dalam keadaan di mana orang-orang yang berkuasa atau
bawahannya menganggap tidak perlu;
e.
Melibatkan
lebih dari satu orang atau pihak;
f.
Adanya
kewajiban dan keuntungan bersama dalam bentuk uang atau lainnya;
g.
Terpusatnya
kegiatan (korupsi) pada mereka yang menghendaki keputusan yang pasti dan mereka
yang dapat mempengaruhinya;
h.
Adanya
usaha untuk menutupi perbuatan korup dalam bentuk-bentuk pengesahan hukum;
i.
Menunjukkan
fungsi ganda yang kontradiktif pada mereka yang melakukan korupsi.[15]
Mahfud M.D. mengklasifikasikan
korupsi menjadi dua, yaitu korupsi konvensional dan non konvensional. Korupsi
konvensional adalah korupsi yang didasarkan pada ukuran formal
perundang-undangan dengan ukuran-ukurannya: melawan hukum, menguntungkan diri
sendiri atau orang lain atau korporasi, dan merugikan keuangan negara. Korupsi
nonkonvensional adalah perilaku korup yang dilakukan oleh para pejabat seperti
minta disponsori pemerintah untuk kegiatan yang tidak penting, mengubah sikap
kritis menjadi akomodatif, asalkan mendapatkan uang secara diam-diam memeras
mitra kerja untuk mengikapi suatu isu, minta dilayani secara berlebihan,
mencari peluang untuk studi banding yang sebenarnya tidak perlu, partai politik
memungut uang yang tidak wajar untuk rekomendasi pencalonan Pilkada, dan minta
diperlakukan dengan protokoler resmi dalam kegiatan yang bersifat pribadi.[16]
Korupsi di Indonesia terjadi secara
sistemik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga
telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. Masyarakat
tidak menghendaki adanya perbuatan korupsi karena sangat bertentangan dengan
moral. Pandangan normatif menganggap hukum tidak dapat dipisahkan dari moral
karena isi hukum adalah norma-norma yang diderivasi dari kaedah moral yang ada
dan hidup dalam masyarakat.[17]
Moral merupakan sumber norma kesusilaan.[18]
C.S.T. Kansil menyatakan bahwa norma kesusilaan adalah peraturan hidup yang
dianggap sebagai suara hati sanubari manusia (insan kamil).[19]
Berdasarkan uraian di atas maka korupsi dilihat dari
kacamata filsafat ilmu yaitu:
a. Secara
Ontologi, korupsi merupakan perbuatan melawan hukum yang keberadaannya tidak
dikehendaki oleh masyarakat.
b. Secara
Epistemologi, yaitu:
1)
Melawan hukum yang
merugikan keuangan Negara;
2)
Penyalahgunaan
kekuasaan yang merugikan keuangan Negara;
3)
Suap-menyuap;
4)
Penggelapan dalam
jabatan;
5)
Pemerasan;
6)
Curang;
7)
Benturan kepentingan
dalam pengadaan barang dan jasa;
8)
Memberi atau menerima
gratifikasi;
9)
Merintangi proses
pemeriksaan perkara korupsi;
10) Tidak
memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar;
11) Bank
yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka;
12) Saksi
atau ahli yang tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan palsu;
13) Memegang
rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan palsu;
14) Saksi
yang membuka identitas pelapor.
c. Secara
Aksiologi, korupsi merupakan perbuatan yang bertentangan dengan norma
kesusilaan dalam kehidupan masyarakat.
2. Yurisdiksi
Lembaga Peradilan Tindak Pidana Korupsi Dalam Menangani Perkara Korupsi Yang
Dilakukan Oleh Anggota Militer
Lembaga Peradilan Militer dibentuk berdasarkan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Lembaga Peradilan
Militer merupakan lembaga peradilan khusus yang mengadili tindak pidana yang
dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah prajurit,
yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan prajurit, anggota suatu
golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai prajurit
berdasarkan undang-undang, dan seseorang atas keputusan Panglima dengan
persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu lembaga peradilan dalam
lingkungan peradilan militer.[20]
Lembaga Peradilan Militer merupakan badan pelaksana keuasaan kehakiman di
lingkungan Angkatan Bersenjata secara organisatoris dan administratif berada di
bawah Pembinaan Panglima. Pembinaan tersebut tidak boleh mengurangi kebebasan
hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Fungsi pengawasan dan pembinaan
teknis yustisial lembaga peradilan dalam lingkungan peradilan militer tetap di
bawah Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan Negara tertinggi.[21]
Lembaga Peradilan Tindak Pidana Korupsi dibentuk
berdasarkan Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi. Lembaga Peradilan Tindak Pidana Korupsi merupakan lembaga peradilan
khusus yang berada di lingkungan peradilan umum dan pengadilan satu-satunya
yang memiliki kewenangan mengadili perkara tindak pidana korupsi yang
penuntutannya dilakukan oleh penuntut umum.[22]
Kedua lembaga peradilan tersebut memiliki
diferensiasi (kekhususan) masing-masing. Pertama,
lembaga peradilan militer merupakan lembaga peradilan yang secara khusus
mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh anggota militer. Kedua, lembaga peradilan tindak pidana
korupsi merupakan lembaga peradilan khusus dalam menangani perkara korupsi.
Penanganan perkara korupsi di internal militer
menjadi sebuah dilematis tatkala terjadi persinggungan antar undang-undang yang
mengandung asas lex specialis derogat
legi generalis (undang-undang yang bersifat khusus mengesampingkan
undang-undang yang bersifat umum). Kedua lembaga peradilan tersebut diatur oleh
undang-undang yang bersifat lex specialis
(khusus). Sifat yang terkandung dalam diferensiasi masing-masing peradilan
terlihat sangat berbeda. Diferensiasi lembaga peradilan militer mengatur
tentang pelaku kejahatan, sedangkan lembaga peradilan tindak pidana korupsi
mengatur tentang perbuatan.
Perkara korupsi yang dilakukan oleh anggota militer
termasuk dalam yurisdiksi peradilan militer. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer menyebutkan bahwa peradilan
militer merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan Angkatan
Bersenjata untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan memperhatikan kepentingan
penyelenggaraan pertahanan keamanan Negara. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1997 tentang Peradilan Militer menegaskan bahwa Pengadilan dalam lingkungan
peradilan militer berwenang:
1. Mengadili
tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak
pidana adalah:
a. Prajurit;
b. Yang
berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan Prajurit;
c. Anggota
suatu golongan atau jawatan atau badan yang dipersamakan atau dianggap sebagai
Prajurit berdasarkan undang-undang;
d. Seseorang
yang tidak masuk golongan pada huruf a, b, dan huruf c atas keputusan Panglima
dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh Pengadilan dalam
lingkungan peradilan militer.
2. Memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkata Bersenjata;
3. Menggabungkan
perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana yang bersangkutan atas
permintaan dari pihak yang dirugikan sebagai akibat yang ditimbulkan oleh tindak
pidana yang menjadi dasar dakwaan, dan sekaligus memutus kedua perkara tersebut
dalam satu putusan.
Hukum menetapkan apa yang harus dilakukan dan apa
saja yang tidak boleh dilakukan. Sasaran hukum yang hendak dituju bukan saja
orang yang nyata-nyata berbuat melawan hukum, melainkan perbuatan yang mungkin
akan terjadi, dan kepada alat perlengkapan Negara untuk bertindak menurut
hukum. Lembaga peradilan khusus tindak pidana korupsi seharusnya dapat
menangani perkara korupsi di internal Militer karena lembaga peradilan ini
memang dibentuk untuk mengadili perbuatan tindak pidana korupsi dengan asumsi: Pertama, Pasal 5 Undang-Undang Nomor 46
Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan dengan tegas
bahwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan satu-satunya pengadilan yang
berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi.
Esensi dari pemberantasan tindak pidana korupsi adalah menghilangkan perbuatan
korupsi tanpa pandang bulu sehingga penanganan perkara tindak pidana korupsi
merupakan yurisdiksi lembaga peradilan tindak pidana korupsi.
Kedua,
pertentangan antara undang-undang yang mengatur lembaga peradilan militer dan
lembaga peradilan tindak pidana korupsi dalam penanganan perkara korupsi
seharusnya dapat diselesaikan dengan menggunakan asas hukum yaitu lex posterior derogat lege priori (undang-undang
yang baru mengesampingkan undang-undang yang lama). Undang-undang tentang
lembaga peradilan tindak pidana korupsi lahir pada tahun 2009 sedangkan
undang-undang tentang peradilan militer lahir pada tahun 1997 sehingga
seyogyanya undang-undang tentang lembaga peradilan tindak pidana korupsi
memiliki alasan yang cukup dalam
menangani perkara korupsi di internal militer.
Hukum harus dipandang sebagai proses yang terus menerus
membangun dirinya menuju tatanan yang ideal. Penegakan hukum tindak pidana
korupsi menghendaki penegakan hukum tidak sekedar menjalankan peraturan
perundang-undangan, tetapi menangkap kehendak hukum masyarakat. Oleh karena
itu, ketika suatu peraturan dianggap membelenggu penegakan hukum, maka dituntut
kreativitas dari penegak hukum itu sendiri agar mampu menciptakan produk hukum
yang mengakomodasi kehendak masyarakat yang tertumpu pada nilai-nilai yang
hidup dimasyarakat.
D.
Simpulan
1. Korupsi
dalam perspektif filsafat ilmu yaitu:
a. Secara
ontologi, Korupsi merupakan perbuatan melawan hukum yang keberadaannya tidak
dikehendaki oleh masyarakat.
b. Secara
Epistemologi, korupsi merupakan perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan
Negara dengan penyalahgunaan kekuasaan yang merugikan keuangan Negara, suap-menyuap,
penggelapan dalam jabatan, pemerasan, curang, benturan kepentingan dalam
pengadaan barang dan jasa, memberi atau menerima gratifikasi, merintangi proses
pemeriksaan perkara korupsi, tidak memberi keterangan atau memberi keterangan
yang tidak benar, bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka, saksi
atau ahli yang tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan palsu, memegang
rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan palsu,
dan saksi yang membuka identitas pelapor.
c. Secara
Aksiologi, korupsi merupakan perbuatan yang bertentangan dengan norma
kesusilaan dan norma kepatutan dalam kehidupan masyarakat.
2. Lembaga
peradilan tindak pidana korupsi memiliki yurisdiksi dalam menangani perkara
korupsi yang dilakukan oleh anggota militer karena lembaga peradilan tindak pidana
korupsi merupakan satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili,
dan memutus perkara tindak pidana korupsi.
DAFTAR PUSTAKA
I.
Buku
Faisal,
Menerobos Positivisme Hukum, Gratama
Publishing, Bekasi, 2012.
J.C.T.
Simorangkir, Kamus Hukum, Sinar
Grafika, Jakarta, 2006.
M.
Syamsudin, Budaya Hukum Hakim Berbasis
Hukum Progresif, Kencana, Jakarta, 2012.
Marwan
Mas, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
Ghalia Indonesia, Bogor, 2014.
Moh.
Mahfud M.D., Hukum Tak Kunjung Tegak,
PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007.
Muhamad
Erwin, Filsafat Hukum: Refleksi Kritis
Terhadap Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012.
______________,
Filsafat Hukum: Refleksi Kritis Terhadap
Hukum Dan Hukum Indonesia (Dalam Dimensi Ide dan Aplikasi), PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2015.
Robert
Klitgaard, Penuntun Pemberantasan Korupsi
dalam Pemerintahan Daerah (terjemahan Hermoyo), Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta, 2002.
Teguh
Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat,
Teori, & Ilmu Hukum: Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan
Bermartabat, Rajawali Pers, Jakarta,
2013.
Surachmin
dan Suhandi Cahaya, Strategi & Teknik
Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta,
2013.
II.
Perundang-undangan
Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang
Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
III.
Elekronik
Dedi
Haryadi, “Indeks Risiko Korupsi Sektor Hankam”, dalam http://www.ti.or.id/index.php/news/2013/10/21/indeks-risiko-korupsi-sektor-hankam.
Akses pada tanggal 28 Oktober 2016 pada pukul 09.12 WIB.
“Hubungan
Antarnorma (Agama, Kesusilaan, Kesopanan dan Hukum)”, Dalam http://www.kamubisa-io.com/2015/04/hubungan-antarnorma-agama-kesusilaan-kesopanan-dan-hukum.html,
Akses pada tanggal Akses pada tanggal 28 Oktober 2016 pada pukul 13.05 WIB.
“Macam
- Macam Norma Dan Contohnya”, Dalam http://www.artikelsiana.com/2014/08/macam-macam-norma-dan-contohnya.html#,
Akses pada tanggal 28 Oktober 2016 pada pukul 13.07 WIB.
[1] Dedi Haryadi, “Indeks Risiko Korupsi Sektor Hankam”, dalam http://www.ti.or.id/index.php/news/2013/10/21/indeks-risiko-korupsi-sektor-hankam.
Akses pada tanggal 28 Oktober 2016 pada pukul 09.12 WIB.
[2] Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori, & Ilmu Hukum : Pemikiran Menuju Masyarakat yang
Berkeadilan dan Bermartabat, Rajawali Pers, Jakarta, 2013, hlm 312.
[3] Lihat konsideran Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
[4] Faisal, Menerobos Positivisme
Hukum, Gratama Publishing, Bekasi, 2012, hlm 53.
[5] Muhamad Erwin, Filsafat
Hukum: Refleksi Kritis Terhadap Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta,
2012, hlm 10.
[6] Ibid., hlm 10.
[7] Muhamad Erwin, Filsafat
Hukum: Refleksi Kritis Terhadap Hukum dan Hukum Indonesia (Dalam Dimensi Ide
dan Aplikasi), PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2015, hlm 31.
[8] Muhamad Erwin, Filsafat...op.cit.,
hlm 11.
[9] Ibid., hlm 16.
[10] M. Syamsudin, Budaya Hukum
Hakim Berbasis Hukum Progresif, Kencana, Jakarta, 2012, hlm 177.
[11] Robert Klitgaard, Penuntun
Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan Daerah (terjemahan Hermoyo),
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2002, hlm 3.
[12] J.C.T. Simorangkir, Kamus
Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm 89.
[13] Surachmin dan Suhandi Cahaya, Strategi
& Teknik Korupsi, Sinar Grafika,
Jakarta, 2013, hlm 108.
[14] Marwan Mas, Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, Ghalia Indonesia, Bogor, 2014, hlm 8.
[15] M. Syamsudin, Budaya…
op.cit.,, hlm 164.
[16] Moh. Mahfud M.D., Hukum Tak
Kunjung Tegak, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm 182.
[17] Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori ...op.cit., hlm 198.
[18] “Hubungan Antarnorma (Agama, Kesusilaan, Kesopanan dan Hukum)”,
Dalam http://www.kamubisa-io.com/2015/04/hubungan-antarnorma-agama-kesusilaan-kesopanan-dan-hukum.html,
Akses pada tanggal Akses pada tanggal 28
Oktober 2016 pada pukul 13.05 WIB.
[19] “Macam - Macam Norma Dan Contohnya”, Dalam http://www.artikelsiana.com/2014/08/macam-macam-norma-dan-contohnya.html#,
Akses pada tanggal 28 Oktober 2016 pada pukul 13.07 WIB.
[20] Lihat Pasal 9 angka 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang
Peradilan Militer.
[21] Lihat penjelasan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang
Peradilan Militer.
[22] Lihat penjelasan atas Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Harrah's Lake Tahoe - MapYRO
BalasHapusThe 서귀포 출장안마 name of the 고양 출장안마 casino is synonymous with 태백 출장샵 its high-quality slots. 진주 출장마사지 Harrah's Hotel 영천 출장안마 & Casino has a wide range of slot machines.