STUDI KASUS JESSICA KUMALA WONGSO DALAM PERSPEKTIF ALIRAN HUKUM POSITIF
A.
Latar
Belakang
Kasus
Jessica Kumala Wongso menjadi perhatian publik tatkala kasus tersebut sering
kali menghiasi layar kaca, media cetak, dan media elektronik beberapa waktu
yang lalu. Kasus tersebut bermula saat korban bernama Wayan Mirna Salihin diketahui
sedang berkumpul di Olivier Café (Grand Indonesia) bersama kedua temannya yaitu
Hani dan Jessica Kumala Wongso. Wayan Mirna Salihin meninggal dunia setelah
meminum kopi es Vietnam di Olivier Café tersebut.
Terdapat
beberapa kronologi berbeda dari kasus tersebut, yaitu:[1]
1. Kronologi
versi Jessica
Jessica
janjian bertemu dengan tiga temannya, Mirna, Hani, dan Vera di Kafe Olivier
pada pukul 17.00 WIB. Begitu tiba, Jessica langsung memesan meja nomor 54. Kafe
Olivier merupakan pilihan Mirna. Jessica berkeliling mal dan membeli tiga
bingkisan berisi sabun untuk oleh-oleh bagi ketiga temannya. Kembali ke kafe
pukul 16.00 WIB. Jessica memesan minuman setelah bertanya dulu di grup
perbincangan media social mereka. Minuman yang datang pertama adalah kopi es Vietnam
pesanan Mirna. Dua minuman lainnya, fashioned
sazerac (Hani) dan cocktail (Jessica)
datang belakangan.pukul 16.40 WIB, Mirna dan Hani datang. Vera tak terlihat.
Posisi duduk Mirna ditengah, Jessica dikiri, dan Hani dikanan. Mirna meminum kopi, Mirna
merasa bau kopinya aneh dan meminta kedua temannya ikut mencium. Belakangan
diketahui bahwa kopi yang diminum oleh Mirna memiliki warna seperti kunyit.
Mirna meminta air putih. Jessica meminta air kepada pelayan. Mirna sekarat.
Ketika Jessica kembali, tubuh Mirna sudah kaku, mulutnya mengeluarkan busa,
kejang-kejang, dengan mata setengah tertutup. Jessica dan Hani panic sembari
menggoyangkan tubuh Mirna. Mereka berteriak memangggil pelayan kafe. Mirna dibawa
menggunakan kursi roda ke klinik, kemudian dibawa dengan mobil suaminya, Arief
Sumarko ke Rumah Sakit Abdi Waluyo.
2. Kronologi
versi Hani
Pada
pukul 16.00 WIB Jessica tiba di kafe. Hani dan Mirna datang pukul 16.40 WIB.
Minuman sudah tersedia. Menurut Hani, setelah meminum es kopi, Mirna mengatakan
“It’s awful, it’s bad”. “Minumannya
ada apa-apanya kali”, kata Hani. Mirna sekarat Mirna merasa kepanasan dan
mulutnya berbusa sehingga dibawa ke klinik. Mirna meninggal di Rumah Sakit Abdi
Waluyo.
3. Kronologi
versi Edi Darmawan Salihin (Ayah Mirna)
Wawancara
yang dilakukan oleh Karni Ilyas dalam acara Indonesia Lawyers Club di TvOne,
Edi Darmawan Salihin mengungkapkan beberapa fakta terkait kematian anaknya.
Fakta tersebut ia peroleh salah satunya setelah melihat rekaman CCTV yang
berada di Olivier Café.ia menjelaskan, bahwa apa yang diucapkan oleh Jessica
Kumala Wongso di media-media itu bohong. Kebohongan tersebut antara lain
mengenai air mineral yang diakui Jessica dipesan olehnya, nyatanya tidak
tercaantum dalam tagihan pesanan. Lalu penempatan goody bag yang diakui Jessica ditaruh sebelum minuman pesanan
diantarkan oleh pelayan. Edi pun menyatakan, hanya Jessica yang tidak menangis
saat keluarga dan teman-teman Mirna berada di Rumah Sakit Abdi Waluyo.
Kontroversi
dalam kasus tersebut adalah tidak ada bukti secara otentik menunjukkan bahwa
Jessica Kumala Wongso benar-benar menuangkan sianida ke dalam es kopi Vietnam
yang diminum oleh Wayan Mirna Salihin.
Proses hukum dalam peradilan pun menggunakan rekaman kamera CCTV. Dalam
rekaman kamera CCTV, tidak ada yang menunjukkan secara eksplisit bahwa Jessica
menuangkan sianida ke dalam es kopi Vietnam yang diminum oleh Wayan Mirna
Salihin, akan tetapi hanya ada beberapa menit rekaman yang menunjukkan bahwa
Jessica menaruh tas belanja di samping es kopi vietnam sehingga es kopi vietnam
tersebut tertutup dan tidak dapat ditangkap oleh kamera CCTV. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pun
telah menjatuhkan putusan dalam perkara terdakwa bernama Jessica Kumala Wongso
selama 20 tahun penjara atas tindak pidana pembunuhan yang diatur dalam Pasal
340 KUHP.
B.
Permasalahan
Berdasarkan
uraian diatas maka yang menjadi pokok permasalahan dalam makalah ini adalah:
Bagaimana proses hukum Jessica Kumala Wongso dalam perspektif aliran hukum positif?
C.
Pembahasan
Dimana
ada hukum disitu pasti ada masyarakat. Setidaknya ini adalah postulat yang tidak
hanya berada dalam tataran ilmu hukum, melainkan juga dalam pengembangan
teori-teori masyarakat lainnya. Perkembangan hukum sendiri sama tuanya dengan
perkembangan masyarakat. Tidak ada masyarakat yang dapat bertahan hidup
berdampingan jika didalamnya tidak ada hukum, karena hukum muncul atas dasar
mengatasi kepentingan didalam masyarakat itu sendiri (problem of human interest). Oleh karenanya hukum dapat dipandang
sebagai alat untuk mencapai kehidupan yang stabil dan tertib sebagaimana yang
dicitakan. Gagasan bahwa ketertiban dapat tercipta tidak dengan hukum tentu
tidak dapat diterima, karena kata tertib sendiri mengindikasikan berlakunya
hukum dengan baik.
Salah
satu objek dogmatik hukum adalah konstitusi, yang disini adalah hukum positif.
Dalam perkembangannya, hukum positif adalah hukum yang eksis didalam dinamika
sosial dan mampu menjadi problem solving ditengah-tengah masyarakat secara umum. Hukum positif adalah
hukum material, yakni dapat juga dikatakan sebagai hukum yang eksis didalam
masyarakat yang dibatasi oleh wilayah yuridiksinya, sehingga pengertian hukum
positif tidak hanya maknai dalam konsep tertulis semata, melainkan segala hukum
sepanjang hukum tersebut eksis dan dipatuhi oleh suatu masyarakat yang memilki
otoritas dan validitasnya. Oleh karena itu pengertian hukum positif meliputi:[2]
1. Keseluruhan
kaidah dalam tata urutan peraturan perundang-undangan;
2. Traktat;
3. Putusan
hakim yang telah mempunyai hukum tetap;
4. Perjanjian;
5. Pendapat
atau rekomendasi dari teoritisi dan filsuf hukum;
6. Anggapan
dasar dari suatu bahan hukum terkait;
7. Keseluruhan
hukum tidak tertulis.
Persoalan
hukum kian kompleks. Pembentukan hukum yang dimotori semangat politik yang
negatif juga semakin memperparah keadaan ini, keyakinan bahwa hukum sebagai
produk politik akhirnya menambah mosi tidak percaya terhadap hukum itu sendiri.
Tata hukum tidak akan mau menerima pelanggaran-pelanggaran dalam kaidahnya,
sedapat mungkin dia akan memaksakan pelaksanaan kaidahnya, walau keengganan
dari orang (individu) untuk melaksanakannya secara sadar. Hukum harus
ditegakkan walau langit akan runtuh adalah suatu adigum yang memang mempunyai sejarah yang sangat panjang atas
hukum, terkait ihkwal kewibawaan hukum itu sendiri. Hukum yang tidak berwibawa
adalah hukum yang tak bertuah, dan akan mendapat pertentangan yang kuat didalam
masyarakat, klimaknya adalah chaos social
dan keadaan dimana tak ada hukum.
Dalam
pandangan positivistik, ada dua kubu yang mempunyai argumentatif kuat akan
pemisahan ataupun pencampuran antara kaidah-kaidah hukum (tertulis) dengan
kaidah-kaidah lainnya (tidak tertulis). Pertama adalah yang menghendaki
pemisahan secara tegas, bahwa hukum adalah apa yang tertulis secara eksplist
dan disahkan oleh negara. Ini yang kemudian disebut sebagai pandangan (tesis)
segregasional. Yang kedua adalah hukum tidak hanya dipahamkan sebatas hukum
tertulis, namun hukum positif adalah juga masuk didalamnya hukum tidak
tertulis. Ini yang kemudian disebut sebagai pandangan (tesis) amalgamasional.
Sebelum menjelaskan lebih jauh akan konsepsi ini, sebagai landasan asumsi dapat
diambil pernyataan Herman Bakir berikut[3];
“Sejauh apa dan kemanapun para positivistik ini
berlari untuk mepositifkan (mengilmiahkan) sebuah pengertian dari hukum, dengan
merekomendasikan ruang yang memisahkan antara hukum dalam pengertian formal
(what the law is) dengan dunia nilai atau dunia dari hukum dalam pengertian
informal (what the law should be), atau kasarnya, membersihkan
sebersih-bersihnya hukum dari berbagai elemen asing yang mencampurinya,
sehingga ia dapat tampil sebagai hal yang murni atau positif, tidak sekali-kali
hal-hal yang informal itu berada jauh darinya, keseluruhan hal itu malah akan
selalu berada dibelakang dan didalam struktur
dari hukum itu sendiri, kapan dan dimanapun hukum itu memperlihatkan
sosoknya”.
Pemberlakuan
hukum yang eksis (tidak tertulis) sudah mendapat legitimasi oleh konstitusi,
dapat dilihat dalam Penjelasan Umum Angka 1 UUD 1945:
“Undang-Undang
Dasar suatu negara ialah sebagian dari hukumnya dasar negara itu. Undang-Undang
Dasar ialah hukum dasar yang tertulis,
sedangkan disamping Undang-Undang Dasar itu berlaku juga hukum dasar
yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara
dalam praktek penyelenggaraan negara meskipun tidak tertulis”.
Penjelasan
diatas merupakan suatu dasar legitimasi atas amalgamasi positivistik didalam sistem hukum nasional. Kemudian
masalah struktur hukum tersebut adalah berada disamping, yang dalam pemaknaan
bahasa, diamping berarti sejajar dengan UUD. Artinya, eksistensi hukum tidak
tertulis adalah juga sebagai Dasar Hukum Negara yang tidaklah serta merta
dinegasikan begitu saja. Setidaknya hal ini tidak hanya dalam batang tubuh
konstitusi, melainkan juga dalam penjelasannya secara eksplisit ditegaskan.
Amalgamasi
berarti percampuran. Dalam konteks hukum, Amalgamasi Positivistik berarti
percampuran bahwa didalam konsep hukum yang eksis tersebut tidak hanya hukum
yang tertulis, namun hukum yang tidak tertulis pun juga eksis didalam dinamika
dan ruang sosial. Hukum yang tidak tertulis ini pun beragam bentuknya, seperti
hukum adat, kebiasaan, atau kaidah-kaidah hukum seperti kaidah agama, kaidah
kesusilaan, dan kaidah kesopanan. Hukum yang tidak tertulis dan eksis ini yang
secara keseluruhan adalah menjadi (termasuk) hukum positif. Terjadinya
amalgamasi hukum tersebut tak lain adalah kebutuhan masyarakat akan hukum,
dengan berdasarkan pada makna keadilan yang harus menjadi tujuan hukum, maka
didalam hukum terus dicari bentuk-bentuk dan eksistensinya didalam realita
sosial, sehingga tujuan keadilan ini dapat difentarisir oleh segala jenis
hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Beberapa poin yang
menjadi asumsi atas tesis amalgamasi positivistik sebagaimana yang dikatakan
oleh Herman Bakir yakni:[4]
1. Hukum
positif (hukum yang eksis) atau material yang secara definitif ditetapkan
sebagai hukum dalam pengertian positif bukanlah hukum alam melainkan
keseluruhan dari sistem kaidah kemasyarakatan.
2. Di
bawah aturan-aturan hukum positif, masyarakat manusia, satu sama lainnya hidup
dalam suasana intersubjektif, di antara mereka terjalin beragam relasi
kemasyarakatan dengan beragam konpleksitas yang menyertai, sehingga hukum pun
merupakan bagian dari kultur yang dapat diidentifikasi dalam realitas
kemanusiaan.
3. Pengertian
hukum positif tidak dibatasi pada kelompok klaim-klaim tertulis yang diperoleh
dibawah peristilahan “material positif”; tatanan perundang-undangan, vonis
(putusan pengadilan), kontrak serta lain sebagainya-hukum positif merupakan
keseluruhan klaim-klaim normatif yang terendapkan diluar struktur hierarkis
kodifikasi, atau keseluruhan sumber hukum tertulis lainnya sepanjang klaim-klaim
itu:
a. Dapat
membawa akibat kepatuhan pada subyek-subyek (sistem etikal, estetikal serta
keseluruhan model hukum kebiasaan lainnya
b. Memerlukan
realisasi (untuk ini dibutuhkan otoritas tertentu untuk menjawab kebuthan
tersebut), termasuk serangkaian tuntutan hukum yang timbul dari distrik
kesadaran seseorang, sehingga jika kita tarik elemen-elemennya secara
keseluruhan, pengertian hukum positif meliputi:
1) Keseluruhan
kaidah dalam tata urutan peraturan perundang-undangan
2) Traktat
3) Putusan
hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap’
4) Perjanjian
5) Pendapat
atau rekomendasi dari teoritisi dan filsuf hukum
6) Anggaran
dasar dari suatu badan hukum terkait
7) Keseluruhan
hukum tidak tertulis (ideologi, wawasan, kesadaran hukum, kebiasaan dan
seterusnya)
Pengertian hukum
positif berarti tidak hanya dibatasi pada hukum yang dibentuk oleh otoritas
penguasa, atau semata-mata produk pertimbangan serta kehendak sewenang-wenang
dari pejabat pemangku otoritas tersebut, namun muncul juga kompartemen-kompartemen
yang secara organik berkembang secara gradual dan sistemik didalam komunitas
masyarakat. Hart, salah seorang pengikut positivisme menguraikan 5 (lima) macam
pengertian tentang positivisme hukum, yakni:
1. Hukum
adalah perintah.
2. Analisis
terhadap konsep-konsep hukum adalah usaha yang berharga untuk dilakukan.
Analisis yang demikian ini berbeda dari studi sosiologis dan historis serta
berlainan pula dari suatu penilaian kritis.
3. Keputusan-keputusan
dapat dideduksikan secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada lebih
dulu, tanpa perlu menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebijakan serta
moralitas.
4. Penghukuman
secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional,
pembuktian atau pengujian.
5. Hukum
sebagaimana diundangkan, ditetapkan harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang
seharusnya diciptakan, yang diinginkan.[5]
Aliran
positivisme hukum telah memperkuat pelajaran legisme, yaitu suatu pelajaran
yang menyatakan bahwa tidak ada hukum di luar perundang-undangan, undang-undang
menjadi sumber hukum satu-satunya. Undang-undang dan hukum diidentikkan.[6]
Setiap
negara modern dewasa ini sepertinya tidak ada yang tidak berlandaskan
konstitusi, walau bagaimanapun bentuk negara dan realitas politiknya,
konstitusi tetap menjadi pegangan setiap negara tersebut untuk menjalankan roda
pemerintahan. Berbicara konstitusi adalah berbicara hukum dalam kondisi
kenegaraan, sehingga konstitusi merupakan suatu hukum (sistem hukum) dalam suatu
negara. Istilah konstitusi itu sendiri berasal dari bahasa latin, constitution yang berkaitan dengan kata ius atau jus yasng berarti hukum atau prinsip.[7]
Para
penegak hukum menggunakan kewenangannya berdasarkan konstitusi. Dapat kita
lihat bagaimana konstitusi mengakomodir semua hak/ kewenangan serta kewajiban
penegak hukum. Penegak hukum disini meliputi (polisi, jaksa, hakim, dan
pengacara). Ada tiga hal esensial yang tidak dapat diabaikan dalam menganalisis
masalah hukum yang melibatkan polisi, jaksa, advokat, dan hakim, yaitu:
a. Memahami
dengan cukup mendalam, asas-asas universal hukum, peradilan dan Hak Asasi
Manusia di dalam suatu negara hukum;
b. Memahami
jiwa atau roh konstitusi UUD 1945;
c. Memahami
Criminal Justice System yang berlaku
di dalam sistem hukum Indonesia.[8]
Pengadilan
bukanlah lembaga algojo alias lembaga penghukuman. Pengadilan apa pun adalah
lembaga untuk memberi keadilan. La Bruyerre, pakar hukum Perancis abad ke-17
menegaskan bahwa dihukumnya seseorang yang tidak bersalah, merupakan urusan
semua orang yang berpikir.[9]
Demikian juga pemeo hukum yang berbunyi under
the law, it better that ten guilty persons escape, than that one innocent man
suffer (di dalam hukum, adalah lebih baik membebaskan sepuluh orang yang
bersalah, ketimbang menghukum satu orang yang tidak bersalah).[10]
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa
dan mengadili perkara-perkara pidana dengan acara pemeriksaaan biasa pada tingkat
pertama telah menjatuhkan putusan dalam perkara terdakwa bernama Jessica Kumala
Wongso. Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan putusan
mengadili:[11]
1.
Menyatakan terdakwa Jessica Kumala
alias Jessica Kumala Wongso alias Jess telah terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan berencana.
2.
Menjatuhkan pidana
terhadap terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama 20 tahun.
3.
Menetapkan masa
penangkapan dan penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan kepadanya.
4.
Menetapkan agar
terdakwa tetap ditahan.
5.
Menetapkan barang bukti
berupa nomor 1 sampai nomor 18 dirampas untuk dimusnahkan, nomor 19 sampai dengan nomor 29 tetap terlampir dalam berkas
perkara, nomor 30 dikembalikan pada saksi Arif Budiman Sumarko, nomor 31 sampai
dengan 45 dikembalikan pada Restoran Oliver melalui saksi Dewi Krisnawati
Syagia.
6.
Menetapkan supaya terdakwa dibebani membayar biaya perkara
sebesar Rp 5.000,00 (lima ribu rupiah).
Menurut
Radbruch, terdapat 3 (tiga) elemen nilai-nilai hukum, yaitu keadilan,
kemanfaatan, dan kepastian hukum. Hukum sebagai konsep kultural, konsep yang
berhubungan dengan nilai-nilai (hukum), sesuai dengan maksudnya, hukum
merupakan sesuatu yang dimaksudkan untuk mewujudkan cita-cita hukum. Cita-cita
hukum itu dapat ditemukan dalam keadilan. Namun karena dalam kenyataan sulit
untuk mencari pedoman yang digunakan untuk menentukan isi keadilan tersebut,
maka di dalam keadilan itu ditambahkan elemen kedua, yaitu kemanfaatan atau
kesesuaian dengan tujuan. Akan tetapi, permasalahan tujuan dan kemanfaatan
tidak dapat dijawab secara tegas, tetapi hanya bersifat relatif. Hukum sebagai
tatanan kehidupan bersama tidak dapat
didasarkan pada perbedaan-perbedaan pandangan individu (yang relatif), tetapi
harus merupakan tatanan yang harus disepakati bersama. Oleh karena itu perlu
adanya elemen ketiga, yaitu kepastian hukum. Kepastian hukum mensyaratkan hukum
harus bersifat positif dan positivitas hukum itu menjadi prasyarat suatu
kebenaran. Positivitas hukum dapat ditemukan dalam konsep hukum yang benar
sebagaimana kebenaran isinya menjadi tugas hukum positif. Menurut Radbruch, di
antara ketiga nilai hukum tersebut, yaitu nilai keadilan, kemanfaatan, dan
kepastian hukum, terjadi ketegangan atau ketidakserasian karena masing-masing
mempunyai tuntutan sendiri yang berbeda-beda.[12]
Radbruch menyimpulkan bahwa ketiga nilai tersebut secara bersama-sama mengatur
hukum di semua aspek walaupun mungkin saling bertentangan satu sama lain.[13] Putusan
terhadap Jessica Kumala Wongso hanya memenuhi unsur kepastian hukum dan
kemanfaatan. Pemenuhan unsur kepastian hukum dapat dipahami dengan melihat
putusan ini yang mempertahankan norma-norma hukum tertulis dari hukum positif
yang ada, yaitu Pasal 340 KUHP. Pemenuhan unsur kemanfaatan dalam putusan kasus
Jessica Kumala Wongso adalah putusan majelis hakim yang bermanfaat bagi kedua
belah pihak.
Ada
beberapa kejanggalan dalam proses hukum kasus Jessica Kumala Wongso, yaitu: Pertama, mengenai syarat pemeriksaan
barang bukti keracunan. Salah satu syarat formal pemeriksaan adalah adanya
berita acara (BA) pengambilan, penyitaan, dan pembungkusan barang bukti. Dalam
kasus ini diduga dalam gelas kopi ada racun tapi tidak ada di tubuh. Lalu ada
berita acara (BA) pengambilan barang bukti (BB), tidak dipenuhi. Pasal 59
Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2009 tentang Tata Cara dan Persyaratan
Permintaan Pemeriksaan Teknis Kriminalistik Tempat Kejadian Perkara dan
Laboratoris Kriminalistik Barang Bukti Kepada Laboratorium Forensik Kepolisian
Negara Republik Indonesia menyebutkan:
(1) Pemeriksaan
barang bukti keracunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 wajib memenuhi
persyaratan formal sebagai berikut:
a. Permintaan
tertulis dari kepala kesatuan kewilayahan atau kepala/ pimpinan instansi;
b. Laporan
polisi;
c. BAP
saksi/ tersangka atau laporan kemajuan;
d. Visum et Repertum atau
surat pengantar dokter forensik bila korban meninggal atau riwayat kesehatan (medical record) bila korban masih hidup;
e. BA
pengambilan, penyitaan dan pembungkusan barang bukti.
(2) Pemeriksaan
barang bukti keracunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 wajib memenuhi
persyaratan teknis sebagai berikut:
a. Jumlah
barang bukti
1. Korban
masih hidup (kasus keracunan)
a) Sisa
makanan minuman (bila ada)
b) Muntahan
(bila ada)
c) Cairan
tubuh korban seperti:
1) Urine
(25ml);
2) Darah
(10ml); dan
3) Cairan
lambung.
d) Sisa
obat-obatan yang diberikan dokter beserta resepnya (bila korban sempat mendapat
perawatan dokter).
2. Korban
mati/ meninggal
a) Organ/
jaringan tubuh:
1) Lambung
beserta isi (100gr);
2) Hati
(100gr);
3) Ginjal
(100gr);
4) Jantung
(100gr);
5) Tissue adipose
(jaringan lemak bawah perut) (100gr); dan
6) Otak
(100gr).
b) Cairan
tubuh:
1) Urine
(25ml);
2) Darah
(10ml);
c) Sisa
makanan, minuman, obat-obatan, alat/ peralatan/ wadah antara lain piring,
gelas, sendok/ garpu, alat suntik, dan barang-barang lain yang diduga ada
kaitannya dengan kasus; da
d) Barang
bukti pembanding bila diduga sebagai penyebab kematian korban.
3. Korban
mati telah dikubur:
a) Apabila
mayat korban belum rusak, maka barang bukti yang diperlukan sama dengan barang
bukti sebagaimana dimaksud pada angka 2;
b) Apabila
mayat korban sudah rusak/ hancur maka barang bukti yang diperlukan adalah:
1) Tanah
bagian bawah lambung/ perut korban;
2) Tanah
bagian bawah kepala korban;
3) Rambut
korban; dan
4) Kuku
jari tangan dan jari kaki korban.
b. Pengambilan
barang bukti:
1. Pengambilan
barang bukti organ tubuh/ jaringan ntubuh dan cairan tubuh untuk korban mati
dilakukan oleh dokter pada saat otopsi;
2. Pengambilan
barang bukti darah dan cairan lambung untuk korban hidup dilakukan oleh dokter
atau para medis; dan
3. Apabila
penyidik tidak dapat mengambil barang bukti di TKP segera menghubungiu petugas
Labfor untuk mengambil barang bukti.
c. Pengumpulan
barang bukti:
1. Tiap
jenis barang bukti ditempatkan dalam wadah yang terpisah;
2. Khusus
untuk organ tubuh, gunakan wadah berupa botol mulut lebar/ toples yang terbuat
dari gelas atau plastic yang masih bersih dan baru (hindari pemakaian botol/
toples bekas);
3. Barang
bukti tidak diawetkan dengan formalin, kecuali untuk pemeriksaan Pathologi
Anatomi, menggunakan bahan pengawet formalin 10%;
4. Barang
bukti yang mudah membusuk, organ tubuh, muntahan, sisa makanan diawetkan dengan
menggunakan alcohol 96% hingga terendam;
5. Contoh
alcohol yang digunakan sebagai bahan pengawet juga dikirim sebagai pembanding;
6. Untuk
kasus dengan dugaan keracunan alcohol, barang bukti tidak diawetkan dengan
Alkohol, tetapi barang bukti yang telah ditempatkan dalam wadah, wadahnya
dimasukkan ke dalam Ice Box yang
telah diisi es batu;
7. Untuk
kasus-kasus keracunan gas CO, alcohol dan obat-obatan, barang bukti darah
diawetkan dengan antikoagulan heparin; dan
8. Setiap
wadah barang bukti ditutup serapat mungkin, gunakan cellotape atau yang sejenis untuk menghindari kebocoran.
d. Pembungkusan
dan penyegelan barang bukti:
1. Tiap
jenius barang bukti dibungkus terpisah, diikat, dilak, disegel, dan diberi
label;
2. Tempat
barang bukti dalam tempat/ peti yang cukup kuat dan tidak mudah rusak;
3. Memberikan
sekat antara botol yang satu dengan botol yang lain agar tidak berbenturan dan
pecah;
4. Menutup
peti dengan rapat, diikat dengan tali dan disegel serta diberi label; dan
5. Menandai
peti dengan tanda “jangan dibalik dan
jangan dibanting, awas pecah”.
Menurut Muzakir bahwa
proses pengambilan itu tidak memenuhi syarat formal berarti tidak sah, syarat
itu untuk menjamin orisinalitas, buktinya adalah ada berita acara, itu penting,
kalau tidak ada berita acara, berarti bisa ada penyalahgunaan.[14]
Kedua, mengenai
autopsi sebagian untuk mengambil sampel di jenazah Mirna. Menurut Otto Hasibuan
bahwa jumlah sampel yang diambil kurang dari yang disyaratkan. Pasal 59 ayat
(2) poin 2 Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2009 tentang Tata Cara dan
Persyaratan Permintaan Pemeriksaan Teknis Kriminalistik Tempat Kejadian Perkara
dan Laboratoris Kriminalistik Barang Bukti Kepada Laboratorium Forensik
Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan penyidik wajib mengambil Organ/
jaringan tubuh korban mati/ meninggal yaitu: lambung beserta isi (100gr), hati
(100gr), ginjal (100gr), jantung (100gr), tissue
adipose (jaringan lemak bawah perut) (100gr), otak (100gr), urine (25ml),
darah (10ml), sisa makanan, minuman, obat-obatan, alat/ peralatan/ wadah antara
lain piring, gelas, sendok/ garpu, alat suntik, dan barang-barang lain yang
diduga ada kaitannya dengan kasus, dan barang bukti pembanding bila diduga
sebagai penyebab kematian korban. Menurut Muzakir bahwa untuk mengambil semua
organ tersebut seharusnya melalui autopsi menyeluruh dan organ itu diambil
utuh, penasihat hukum bisa menuntut hakim untuk menyatakan pembuktian itu tidak
sah jika tidak memenuhi standar. [15]
Ketiga, mengenai
keabsahan rekaman kamera CCTV sebagai alat bukti di persidangan. Menurut Otto
Hasibuan bahwa pemindahan file rekaman kamera CCTV dari DVR ke flashdisk yang
dilakukan bukan oleh penyidik, melainkan pegawai Olivier Café. Terkait
persoalan informasi elektronik, prinsipnya yang disebut data informasi
elektronik original itu di DVR. Lalu bisa dikloning sesuai jaminan aslinya,
lalu digandakan sesuai jumlah yang diperlukan. Kalau digandakan kembali yang
kedua dan ketiga tidak sesuai orisinalitasnya. Jadi aslinya harus dijaga,
dirawat sedemikian rupa di pengadilan. Untuk kloning rekaman, hal itu harus
dilakukan dari sumber aslinya. Karena itu tanpa berita acara, maka sulit
diketahui aslinya. Berita acara (BA) ini wajib, ada perbuatan hukum pada objek
tertentu. Misal kloningnya harus ada sidik jarinya. Kalau flashdisk ini
digandakan lagi, ini sudah tidak asli. Pasal 20 Peraturan Kapolri Nomor 10
Tahun 2009 tentang Tata Cara dan Persyaratan Permintaan Pemeriksaan Teknis
Kriminalistik Tempat Kejadian Perkara dan Laboratoris Kriminalistik Barang
Bukti Kepada Laboratorium Forensik Kepolisian Negara Republik Indonesia
menyebutkan:
(1) Pemeriksaan
barang bukti perangkat computer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 wajib
memenuhi persyaratan formal sebagai berikut:
a. Permintaan
tertulis dari kepala kesatuan kewilayahan atau kepala/ pimpinan instansi;
b. Laporan
polisi;
c. BAP
saksi/ tersangka atau laporan kemajuan; dan
d. BA
pengambilan, penyitaan dan pembungkusan barang bukti.
(2) Pemeriksaan
barang bukti perangkat computer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 wajib
memenuhi persyaratan teknis sebagai berikut:
a. Penanganan
barang bukti computer, yang berkaitan dengan data yang tersimpan dalam hard
disk atau penyimpanan data (storage)
lainnya, dari sejak penanganan pertama harus sesuai dengan tata cara yang
berlaku, karena barang bukti memiliki sifat yang mudah hilang/ berubah (volatile), dan bila penyidik tidak
memahami tata cara penyitaan barang bukti computer, dapat meminta bantuan
Labfor Polri;
b. Barang
bukti dikirim secara lengkap dengan seluruh sistemnya;
c. Barang
bukti dibungkus, diikat, dilak, disegel, dan diberi label; dan
d. Pengiriman
barang bukti ke Labfor Polri dapat melalui pos paket atau kurir.
Menurut
Muzakir bahwa jika proses pemindahan rekaman itu tanpa berita acara dan tidak
dilakukan penyidik, maka semuanya diragukan. Apalagi, DVR yang menjadi tempat
penyimpanan pertama file rekaman sudah dikosongkan. Oleh karena
kemungkinan-kemungkinan (manipulasi) yang terjadi, itulah pentingnya berita
acara (BA) pengambilan. DVR ini yang asli. Kalau ada pihak yang merasa ragu
aslinya yang mana, yang asli ini bisa ditunjukkan. Kalau sudah dihapus, tidak
ada berita acara (BA), semua bukti itu tidak bisa menjadi alat bukti yang sah.[16] Muzakir
menerangkan hasil uji materi Pasal 5 Ayat 1 serta Pasal 44 huruf b
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang mengatur soal
informasi atau dokumen elektronik sebagai alat bukti penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan yang sah. Menurutnya, dokumen dan informasi elektronik saat ini
tak bisa lagi dipakai jika yang mengambil bukan aparat penegak hukum.[17]
Seharusnya Jessica Kumala Wongso dibebaskan
dari segala dakwaan dan tuntutan karena proses hukumnya tidak dilakukan
dengan proses dan prosedur yang benar (due
process of law). Hukum memang penuh dengan ketidakpastian, karena berbicara tentang
kepastian hukum adalah bicara tentang eksistensi hukum itu sendiri. Hukum penuh
dengan ketidakpastian, kepastian hukum adalah suatu yang lebih dipaksakan dalam
kenyatan atau pada realitas keadaan sebenarnya. Selain kepastian, hukum juga
harus bersifat memaksa. Mengulang norma diatas norma yang
berbunyi, janganlah kamu mencuri, dalam
bentuk sanksinya barang siapa mencuri
akan dihukum, Hukum tentunya memang tidak dipaksakan, karena merupakan
kebutuhan masyarakat secara luas (ketertiban umum) dan memang sifatnya yang memaksa
adalah untuk menjaga ketertiban tersebut dan
keadilan bersifat relatif.
Proses
hukum pada kasus Jessica Kumala Wongso harus dilakukan dengan proses dan
prosedur yang benar (due process of law)
sehingga tercipta keseimbangan perlindungan terhadap kemungkinan pelanggaran
hak asasi manusia dalam penegakan hukum sesuai dengan tujuan dan cita-cita
Bangsa Indonesia sebagaimana yang dirumuskan pada Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penekanan diletakkan pada proses dan prosedur,
prosedur digunakan untuk membenarkan proses. Oleh karena itu proses harus
dibarengi dengan prosedur. Tidak boleh seseorang dikurangi hak-haknya tanpa
melalui due process of law dimana
tidak boleh ada proses tanpa prosedur. Prosedur hanya merupakan suatu sarana
untuk mencapai suatu tujuan dan prosedur mengikuti substansi, substansilah yang
memberitahu aspek prosedur menjadi penting.
Tujuan
dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau
setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang
selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan tujuan untuk mencari
siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan
selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan pengadilan guna menentukan apakah
terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang
didakwa itu dapat dipersalahkan. Demikian pula setelah putusan pengadilan
dijatuhkan dan segala hukum telah dilakukan dan akhirnya putusan mempunyai
kekuatan hukum yang tetap, maka hukum acara mengatur pula pokok-pokok cara
pelaksanaannya dan pengawasan dari putusan tersebut. Apa yang diatur di dalam
hukum acara pidana adalah cara-cara yang ditempuh dalam menegakkan ketertiban
hukum masyarakat, namun sekaligus juga bertujuan melindungi hak-hak asasi
tiap-tiap individu, baik yang menjadi korban maupun si pelanggar hukum.[18]
Penyelenggaraan
tata hukum pidana berpusat dan berpuncak pada pengadilan, karena pengadilan
merupakan institusi penting dalam mengkonkretkan hukum melalui putusan-putusan
yang ditetapkannya. Dari kenyataan itu, bahwa peradilan memerankan keadaan
hukum yang ditegakkan melalui lingkungan sosial tempat hukum itu diberlakukan.
Lembaga peradilan pidana adalah salah satu ranah para pencari keadilan untuk
memperjuangkan hak-haknya. Namun, bila proses peradilan jauh dari rasa keadilan
masyarakat, maka penegakan hukum akan bergerak berlawanan kearah degradasi
hukum.[19]
D.
Kesimpulan
Proses
hukum pada kasus Jessica Kumala Wongso tidak dilakukan dengan proses dan
prosedur yang benar (due process of law) karena tidak ada berita
acara (BA) pengambilan barang bukti (BB) yang notabene merupakan syarat formal
pemeriksaaan yang wajib dipenuhi berdasarkan Pasal 59 ayat (1) Peraturan
Kapolri Nomor 10 Tahun 2009 tentang Tata Cara dan Persyaratan Permintaan
Pemeriksaan Teknis Kriminalistik Tempat Kejadian Perkara dan Laboratoris
Kriminalistik Barang Bukti Kepada Laboratorium Forensik Kepolisian Negara
Republik Indonesia, jumlah sampel yang diambil kurang dari yang disyaratkan
dalam Pasal 59 ayat (2) poin 2 Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2009 tentang
Tata Cara dan Persyaratan Permintaan Pemeriksaan Teknis Kriminalistik Tempat
Kejadian Perkara dan Laboratoris Kriminalistik Barang Bukti Kepada Laboratorium
Forensik Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan pemindahan file rekaman
kamera CCTV dari DVR ke flashdisk yang dilakukan bukan oleh penyidik, melainkan
pegawai Olivier Café bertentangan dengan persyaratan teknis berdasarkan Pasal
20 Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2009 tentang Tata Cara dan Persyaratan
Permintaan Pemeriksaan Teknis Kriminalistik Tempat Kejadian Perkara dan Laboratoris
Kriminalistik Barang Bukti Kepada Laboratorium Forensik Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
I.
Buku
Achmad
Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory)
& Teori Peradilan (Judicialprudence): Termasuk Interpretasi Undang-Undang
(Legispruence), Jakarta, Prenada Media Group, 2012.
Faisal,
Menerobos Positivisme Hukum, Jakarta,
Gramata Publishing, 2012.
Herman
Bakir, Filsafat Hukum, Bandung, PT Refika Aditama, 2009.
Jimly
Asshidiqie, Pengantar Hukum Tata Negara, Jakarta, Konstitusi Press, 2006.
M.
Syamsudin, Konstruksi Baru Budaya Hukum
Hakim, Jakarta, Kencana, 2012.
Muhamad
Erwin, Filsafat Hukum: Refleksi Kritis
Terhadap Hukum, Jakarta, Rajawali Pers, 2012.
R.
Soeparmono, Peradilan dan Penggabungan
Perkara Gugatan Ganti Kerugian Dalam KUHAP, Edisi Revisi, Bandung, CV.
Mandar Maju, 2015.
II.
Perundang-undangan
Peraturan
Kapolri Nomor 10 Tahun 2009 tentang Tata Cara dan Persyaratan Permintaan
Pemeriksaan Teknis Kriminalistik Tempat Kejadian Perkara dan Laboratoris Kriminalistik
Barang Bukti Kepada Laboratorium Forensik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
III.
Data
Elektronik
Adib
Muttaqin, “Menurut Prof Muzakir, Barang Bukti Kasus Jessica Tidak Sah”, Dikutip
dari http://m.solopos.com/2016/09/26/menurut-prof-muzakir-barang-bukti-kasus-jessica-tidak-sah-756067,
Diakses pada tanggal 18 November 2016.
Adib
Muttaqin Asfar, “Inilah Efek Setya Novanto yang Menguntungkan Jessica Wongso”,
Dikutip dari http://m.harianjogja.com/baca/2016/09/26/inilah-efek-setya-novanto-yang-menguntungkan-jessica-wongso-756019,
Diakses pada tanggal 18 November 2016.
“Pembunuhan
Wayan Mirna Salihin”, Dikutip dari https://id.m.wikipedia.org/wiki/Pembunuhan_Wayan_Mirna_Salihin,
Diakses pada tanggal 18 November 2016.
“Sidang
Putusan Jessica Wongso – Akhirnya Hakim Jatuhkan Vonis 20 Tahun Penjara”,
Dikutip dari https://www.youtube.com/watch?v=C8xF3zyYEoM,
Diakses pada tanggal 18 November 2016.
[1] “Pembunuhan Wayan Mirna Salihin”, Dikutip dari https://id.m.wikipedia.org/wiki/Pembunuhan_Wayan_Mirna_Salihin,
Diakses pada tanggal 18 November 2016.
[4] Ibid., hlm 340-343.
[5] Muhamad Erwin, Filsafat
Hukum: Refleksi Kritis Terhadap Hukum, Jakarta, Rajawali Pers, 2012, hlm
174.
[6] Ibid., hlm 175.
[8]Achmad
Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory)
& Teori Peradilan (Judicialprudence): Termasuk Interpretasi Undang-Undang
(Legispruence), Jakarta, Prenada Media Group, 2012, hlm 492.
[11] “Sidang Putusan Jessica Wongso – Akhirnya Hakim Jatuhkan Vonis 20
Tahun Penjara”, Dikutip dari https://www.youtube.com/watch?v=C8xF3zyYEoM,
Diakses pada tanggal 18 November 2016.
[12] M. Syamsudin, Konstruksi Baru
Budaya Hukum Hakim, Jakarta, Kencana, 2012, hlm 46.
[13] Ibid., hlm 47.
[14] Adib Muttaqin, “Menurut Prof Muzakir, Barang Bukti Kasus Jessica
Tidak Sah”, Dikutip dari http://m.solopos.com/2016/09/26/menurut-prof-muzakir-barang-bukti-kasus-jessica-tidak-sah-756067,
Diakses pada tanggal 18 November 2016.
[15] Adib Muttaqin, “Menurut Prof Muzakir, Barang Bukti Kasus Jessica
Tidak Sah”, Dikutip dari http://m.solopos.com/2016/09/26/menurut-prof-muzakir-barang-bukti-kasus-jessica-tidak-sah-756067,
Diakses pada tanggal 18 November 2016.
[16] Adib Muttaqin, “Menurut Prof Muzakir, Barang Bukti Kasus Jessica
Tidak Sah”, Dikutip dari http://m.solopos.com/2016/09/26/menurut-prof-muzakir-barang-bukti-kasus-jessica-tidak-sah-756067,
Diakses pada tanggal 18 November 2016.
[17] Adib Muttaqin Asfar, “Inilah Efek Setya Novanto yang Menguntungkan
Jessica Wongso”, Dikutip dari http://m.harianjogja.com/baca/2016/09/26/inilah-efek-setya-novanto-yang-menguntungkan-jessica-wongso-756019,
Diakses pada tanggal 18 November 2016.
[18] R. Soeparmono, Peradilan dan
Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian Dalam KUHAP, Edisi Revisi,
Bandung, CV. Mandar Maju, 2015, hlm 6.
"Discuss current cases! Communicate with our forum and share your opinions and analysis on crime news!" Come visit our website here https://wakbulu279.wixsite.com/berita-kriminal-news
BalasHapus