IMPLEMENTASI KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH TERHADAP HUKUM LOKAL
A.
Pendahuluan
Pasal
1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan
bahwa Indonesia adalah Negara Hukum. Bangsa yang beradab adalah bangsa yang
menjalankan fungsi hukumnya secara merdeka dan bermartabat.[1]
Sebagai negara yang berdasarkan hukum maka tingkah laku masyarakat maupun
penyelenggara negara harus berdasarkan hukum.
Kehadiran
hukum sangat penting dalam kehidupan masyarakat menuju pembangunan hukum yang
berkeadilan. Kehadiran hukum bukanlah sekedar untuk memenuhi kebutuhan akan
kepentingan tiap individu dalam masyarakat yang tersandung kasus hukum saja
melainkan lebih dari itu. Hukum harus dapat memainkan perannya ditengah
kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Sehingga masyarakat dapat merasakan
hakikat kehadiran hukum di dalam jiwanya. Kehadiran hukum dalam masyarakat di
antaranya adalah untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan
kepentingan-kepentingan yang bisa bertubrukan satu sama lain itu oleh hukum diintegrasikan
sedemikian rupa sehingga tubrukan-tubrukan itu bisa ditekan sekecil-kecilnya.[2]
Menurut
Victor Hugo, adanya hukum adalah untuk menciptakan keadilan bagi masyarakat.
Dari pendapat tersebut jelas bahwa hukum diciptakan sebagai upaya untuk mengatur
tingkah laku masyarakat sehingga akan tercipta sebuah kesinergisan yang pada
akhirnya mengarah pada tegaknya supremasi hukum (keadilan).[3]
Pada
tataran ide negara (staatsidee),
adanya kemajemukan sistem budaya di Indonesia telah di akui dari semboyan negara
“Bhineka Tunggal Ika”, walaupun beraneka, tetapi kita adalah satu kesatuan
dalam negara Indonesia. Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara
berkembang masih mengenal tentang keanekaragaman hukum (pluralisme hukum) atau
dapat disebut sebagai kebhineka tunggal ikaan hukum yang berlaku dalam
kehidupan masyarakat.
Secara
filosofis, kebhineka tunggal ikaan hukum yang berlaku di dalam suatu negara
adalah dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk memilih
dan melaksanakan sistem hukum yang dikehendakinya.
Secara
yuridis, bahwa kebhineka tunggal ikaan hukum telah diatur di dalam Pasal II
Aturan Peralihan UUD 1945. Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Pasal II Aturan
Peralihan UUD 1945, yaitu:
“Segala
badan negara dan peraturan yang ada masih berlaku selama belum diadakan yang
baru menurut UUD ini”.
Ada
dua hal yang menjadi sorotan dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, yaitu:
1. Keberadaan
badan negara; dan
2. Keberadaan
peraturan yang terdahulu.
Secara
sosiologis bahwa kebhineka tunggal ikaan hukum masih diakui dan dilaksanakan
dalam kehidupan masyarakat. Ada masyarakat yang melaksanakan hukum negara, ada
juga masyarakat yang melaksanakan hukum lokal (hukum adat) dan hukum agama.
Ketiga hukum itu hidup berdampingan antara satu dengan yang lain.
Di
Indonesia, Hukum Nasional (hukum negara) dan Hukum Lokal (hukum adat) merupakan
dua macam hukum yang eksistensinya diakui sebagai dua entitas hukum yang
berbeda. Seiring perjalanannya, eksistensi keduanya menimbulkan gesekan antara
satu sama lain. Di satu sisi, hukum Lokal yang ada berkembang dari suasana
kejiawaan komunitas masyarakat lokal dan cenderung menghasilkan keberagaman
sedangkan di lain sisi hukum nasional (hukum negara) yang dibuat oleh negara
cenderung menuntut penyeragaman tatanan hukum.
Gesekan
kedua hukum tersebut dalam era otonomi daerah semakin terbuka lebar karena
kabupaten/ kota dan desa sama-sama memiliki otonomi dan secara legal formal
keduanya berhak untuk membuat tata hukum di wilayah kewenangannya. Sally Falk
Moore mengemukakan tentang keberadaan hukum dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan, yang lazim disebut dengan “semi-autonomous
sosial field”. Ia mengemukakan bahwa:[4] “Bidang-bidang
yang kecil dan untuk sebagian yang otonom dapat menghasilkan aturan-aturan dan
adat kebiasaan serta symbol-simbol yang berasal dari dalam. Bidang sosial yang
semi otonom ini memiliki kapasitas untuk membuat aturan-aturan dan sarana yang
menyebabkan atau memaksa seseorang tunduk pada aturannya, tetapi sekaligus juga
berada dalam kerangka acuan sosial yang lebih luas yang dapat dan dalam
kenyataannya mempengaruhi dan menguasainya, kadang-kadang karena dorongan dari
dalam, dan kadang-kadang atas kehendak sendiri.”
Hukum
lokal (Local Law) adalah hukum yang
hanya berlaku disuatu daerah tertentu (Hukum Adat Batak, Minangkabau, Jawa dan
sebagainya). Atau suatu sitem yang tampak seiring dengan peningkatan pentingnya
hukum negara dan aparatur administrasinya, dimana pengembangan dan
kewenangannya, maksud dan tujuannya kesemuanya ditentukan oleh aparat
pemerintah. Pemberlakuan, dalam praktek sehari-hari berada dalam suatu
kewenangan daerah yang terdesentralisasi. Perbedaannya dengan hukum nasional
adalah bahwa proses pembentukan Hukum Lokal yang dibangun tersebut perumusannya
didasarkan pada spirit berpikir hukum masyarakat pribumi (according to the spirit of indigenous legal thinking).[5]
Kewenangan
otonomi daerah berimplikasi kepada makin luasnya kewenangan daerah dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Kebijakan otonomi daerah pada
dasarnya merupakan upaya untuk mewujudkan tercapainya salah satu tujuan negara,
yaitu peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pemerataan pelaksanaan
pembangunan dan hasil-hasilnya melalui peningkatkan kualitas pelayanan kepada
masyarakat, kemandirian, dan kreativitas daerah. Daerah memiliki kewenangan
membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta,
prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan
kesejahteraan rakyat.
Pertemuan
norma antara hukum negara dengan norma kebiasaan tidak melahirkan benturan
kesenjangan. Menurut Paul Bohannan seperti yang dikutip oleh Satjipto Raharjo
bahwa suatu gejala umum dalam masa transisi dari suatu masyarakat tradisional
yang digiring kearah masyarakat nasional modern adalah terjadinya persaingan
hukum dan kebiasaan. Kebiasaan (lembaga informal) harus tumbuh untuk akhirnya
dapat sesuai dengan hukum, atau ia dapat secara aktif menolaknya, hukum harus
selalu tumbuh untuk akhirnya sesuai dengan kebiasaan, atau ia harus mengingkari
dan menekannya.[6]
Seiring
dengan berjalannya era otonomi daerah, hukum lokal mulai diusik melalui
pemaksaan atau otorisasi hukum positif berdasarkan keinginan pemerintah atau
para pembentuk peraturan perundang-undangan. Pemaksaan norma-norma peraturan
daerah yang dibuat nyatanya kurang aspiratif tanpa memperhatikan keberadaan dan
hakikat hukum lokal dalam masyarakat. Pertemuan antara hukum negara dan hukum
lokal yang tidak selaras merupakan persoalan krusial yang perlu selalu
direfleksi dari waktu ke waktu.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
uraian diatas maka yang menjadi pokok permasalahan dalam paper ini adalah: Bagaimana
implementasi kebijakan otonomi daerah terhadap hukum lokal?
C.
Landasan
Teori
Griffiths
mengemukakan ada dua macam tertib hukum yang berlaku dalam komunitas sosial,
yaitu:[7]
- Ideologi sentralisme hukum
- Hukum lainnya.
Dalam
idelogi sentralisme hukum, hukum adalah kaidah normatif yang bersifat memaksa,
ekslusif, hierarkis, sistematis, berlaku seragam, serta dapat berlaku:
Pertama,
dari atas ke bawah (top downwards)
dimana keberlakuannya sangat tergantung kepada penguasa; atau
Kedua,
dari bawah ke atas (bottom upwards)
dimana hukum dipahami sebagai lapisan-lapisan kaidah-kaidah normatif yang
hierarkis, dari lapisan yang paling bawah dan meningkat ke lapisan-lapisan yang
lebih tinggi hingga berhenti di puncak lapisan yang dianggap sebagai kaidah
utama. Dalam beberapa sistem hukum yang dipengaruhi oleh ideologi ini, seluruh
kaidah-kaidah normatif baru dianggap sah keberlakuannya sebagai suatu aturan
hukum jika sesuai dengan lapisan yang ada di atas.
Dari
paparan yang dikemukakan oleh Griffiths dapat dikemukakan karakteristik
sentralisme hukum. Ada lima karakteristik sentralisme hukum, yang meliputi:[8]
- Bersifat eksklusif (khusus);
- Disusun secara sistematis;
- Telah diunifikasi;
- Dapat dilihat, baik dari atas maupun dari bawah; dan
- Adanya perintah dari penguasa.
Sementara
itu, hukum lainnya, seperti hukum lokal, hukum gereja, keluarga,
asosiasi-asosiasi sukarela dan organisasi ekonomi yang berada dan faktanya ada
dalam masyarakat secara hierarkis berada di bawah hukum dan institusi negara.
Pluralisme
hukum berdasarkan kekuatan berlakunya merupakan penggolongan pluralisme hukum
yang didasarkan boleh atau tidak dipakai atau diterapkannya norma hukum dalam
suatu negara. Griffiths membedakan pluralisme hukum berdasarkan kekuatan
berlakunya menjadi dua macam, yaitu:[9]
1. Pluralisme
yang kuat (strong legal pluralism);
dan
2. Pluralisme
yang lemah (weak legal pluralism).
Pluralisme
hukum yang kuat (strong legal pluralism)
merupakan pluralisme yang berlaku pada kondisi di mana suatu masyarakat, tidak
hanya tunduk pada hukum negara ataupun aturan-aturan yang ditetapkan oleh
lembaga-lembaga negara, sehingga tertib hukum yang berlaku pada masyarakat
tersebut tidak seragam dan sistematis. Pluralisme hukum yang lemah (weak legal pluralism) merupakan salah
satu bagian kecil dari hukum suatu negara, yang berlaku selama diperintahkan
(secara implisit) oleh penguasa atau berdasarkan mandat kaidah dasar
(grundnorm) terhadap golongan kecil masyarakat berdasarkan beberapa
pertimbangan tertentu. pertimbangan itu, dapat berupa faktor:
1. Etnis;
2. Agama;
3. Nasionalitas;
atau
4. Wilayah
geografis.
Pluralisme
hukum berdasarkan interpretasinya merupakan penggolongan pluralisme hukum yang
didasarkan pada penafsiran yang terdapat pada pluralisme hukum. Pluralisme
hukum berdasarkan interpretasinya dikembangkan oleh Bekker, dkk. Pluralisme
hukum ini dibagi menjadi dua macam, yaitu:[10]
1. Interpretasi
sempit; dan
2. Interpretasi
luas.
Interpretasi
sempit terhadap pluralisme didasarkan pada dual
systems theory yang secara sederhana ditandai dengan bergabungnya sistem
hukum barat dengan sistem hukum adat. Kedua sistem hukum atau semua sistem
hukum yang diakui dalam masyarakat dan beroperasi dalam kerangka hukum formal.
Penerapan hukum adat beserta lembaganya diakui selama tidak bertentangan dengan
kebijakan publik dan hukum alam. Dalam pengertian sempit ini, paling tidak dua
sistem hukum yang masing-masing bersifat otonom, hidup berdampingan dan
berinteraksi dalam peristiwa-peristiwa tertentu. pluralisme hukum dalam arti
sempit juga disebut state-law pluralism,
yang ditandai dengan dominasi hukum negara terhadap hukum adat. Sebaliknya,
penafsiran secara luas, pluralisme hukum menunjuk pada situasi yang nyata
disuatu lingkungan sosial dimana terdapat berbagai sistem hukum yang ditaati.
Keberadaan berbagai sistem hukum ini tidak tergantung pada hukum negara.[11]
D.
Pembahasan
Sebelum
era reformasi, berlaku Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan
Daerah. Pada saat itu, terjadi turbulensi di bidang politik, ekonomi, sosial,
dan budaya, sampai diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah. Setelah itu, berlaku Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, dan kini telah berlaku Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Pemerintahan Daerah.
Membandingkan
pokok-pokok pikiran antara Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 dengan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 serta
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, ada perbedaan mendasar, yaitu:
1. Dari
sisi filosofis.
Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1974 filosofinya adalah keseragaman atau uniformalitas, sedangkan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 filosofinya adalah keanekaragaman dalam
kesatuan.
2. Dari
aspek pembagian satuan pemerintahan.
Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1974 menggunakan pendekatan tingkatan, ada Daerah Tingkat I dan
Daerah Tingkat II. Sedangkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menggunakan
pendekatan besaran dan isi otonomi, ada daerah yang besar dan ada daerah yang
kecil berdasar kemandirian masing-masing, ada daerah dengan isi otonomi
terbatas dan ada daerah yang otonominya luas. Sementara, Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 menggunakan pendekatan
keseimbangan, dengan menekankan pada urusan yang berkeseimbangan dengan azas
eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi.
3. Fungsi
utama pemerintahan daerah.
Menurut
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 adalah sebagai promoter pembangunan, sedangkan
menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 sama dengan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yaitu sebagai pemberi
pelayanan masyarakat.
4. Terkait
dengan penggunaan azas penyelenggaraan pemerintah daerah.
Menurut
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 adalah seimbang antara desentralisasi,
dekonsentrasi dan tugas pembantuan pada semua tingkatan. Sementara pada
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, desentralisasi terbatas pada daerah provinsi
dan pada luas daerah kabupaten/kota, dekonsentrasi pada kabupaten/kota dan luas
pada provinsi, tugas pembantuan yang seimbang pada semua tingkatan pemerintahan
sampai ke desa. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, desentralisasi diatur berkeseimbangan antara
daerah provinsi, kabupaten/kota, desentralisasi terbatas pada kabupaten/kota
dan luas pada provinsi, tugas pembantuan berimbang pada semua tingkatan
pemerintahan.
Berdasarkan
ketentuan UUD 1945 setelah amandemen, serta Undang-Undang Pemerintahan Daerah
yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, sistem sistem pemerintahan
kita telah memberikan keleluasaan yang sangat luas kepada daerah untuk
menyelenggarakan otonomi daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah menekankan
pentingnya prinsip-prinsip demokrasi, peningkatan peran serta masyarakat, dan pemerataan
keadilan dengan memperhitungkan berbagai aspek yang berkenaan dengan potensi
dan keanekaragaman antar daerah. Pelaksanaan otonomi daerah itu diwujudkan
dengan pengaturan pembagian, dan pemanfaatan sumberdaya masing-masing serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah, sesuai prinsip-prinsip demokrasi, peran
serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta potensi dan keanekaragaman
antar daerah.
Pada
prinsipnya, kebijakan otonomi daerah dilakukan dengan mendesentralisasikan
kewenangan-kewenangan yang selama ini tersentralisasi di tangan pemerintah
pusat. Dalam proses desentralisasi itu, kekuasaan pemerintah pusat dialihkan
dari tingkat pusat ke Pemerintah Daerah sebagaimana mestinya, sehingga terwujud
pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah kabupaten dan kota di seluruh
Indonesia. Jika dalam kondisi semula arus kekuasaan pemerintah bergerak dari
daerah ke tingkat pusat, maka diidealkan bahwa sejak diterapkannya kebijakan
otonomi daerah itu, arus dinamika kekuasaan akan bergerak sebaliknya, yaitu dari
pusat ke daerah.[12]
Pelaksanaan
otonomi daerah belum berjalan sebagaimana mestinya jika diukur dalam pemahaman
masyarakat awam bahkan dalam jajaran birokrasi pun terdapat perbedaan dimana
otonomi lebih dipahami sebagai pemindahan kekuasaan politik dari pemerintah
pusat (dalam hal ini Negara) kepada Pemerintah Daerah (masyarakat) sehingga
pemegang kekuasaan politik tersebut menganggap ia bebas atau bahkan keluar dari
pengaruh Pemerintahan Pusat (Negara), berbuat sekehendaknya atas nama otonomi
daerah tanpa memperhatikan hakekat sebenarnya dari otonomi tersebut.
Pelaksanaan otonomi daerah telah memberikan ruang politik bagi daerah akan tetapi belum dapat mengakomodasi
kepentingan daerah. Hal ini disebabkan oleh praktek-praktek korupsi politik
yang menjamur di berbagai daerah.
Dr.
Syakrani dan Dr. Syahriani, dalam bukunya Implementasi Otonomi Daerah dalam
Perspektif Good Governance dikemukakan beberapa permasalahan yang menjadi
hambatan dalam implementasi otonomi daerah dalam konteks tata kelola
pemerintahan, yaitu:[13]
1. Institusi
pemerintah dinilai lamban beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Permasalahan
ini dilandasi dengan berubahnya sistem tata kelola pemerintahan dari era
sentralisasi di era orde baru ke sistem desentralisasi pasca diberlakukannya
otonomi daerah. Pejabat publik dan birokrasi seolah belum siap dengan sistem
baru yang diterapkan, budaya sentralis dan patron
client di masa orba sangat berbeda sekali dengan pelayanan di era otonomi
daerah yang memberikan kewenangan yang luas bagi pemerintahan daerah untuk
mengurus rumah tangganya sendiri.
2. Profesionalisme
pejabat publik yang buruk. Ditandai dengan banyaknya kasus pelanggaran kode
etik pejabat publik, dimana mungkin kita sering menemui para pejabat publik
yang tidak mampu membedakan antara urusan pribadi dan urusan pekerjaan dalam
aktivitasnya. Penggunaan inventaris negara untuk kepentingan individu, kemudian
banyaknya pejabat publik yang mangkir dari tugasnya dalam jam-jam kerja, dan lainnya.
Hal tersebut disebabkan rendahnya kapasitas dan kapabilitas pejabat publik kita
dalam melaksanakan tugas profesinya.
3. Pelayanan
publik yang buruk. Pelayanan publik yang buruk sudah menjadi kultur dalam
pemerintahan kita. Banyak keluhan masyarakat yang sering menjadi permasalahan
pelayanan publik diantaranya, berbelit-belit proses administrasi dalam
birokrasi kita. Misalnya susahnya ribetnya mengurus pembuatan KTP, Akta
Kelahiran, dan lainnya. Selain itu, budaya suap dalam pelayanan publik semakin memperburuk
struktur birokrasi kita.
4. Kurangnya
transparansi pemerintah terhadap masyarakat. Sangat sulit sekali masyarakat
untuk mengakses data-data yang ada di pemerintahan, seperti keuangan dan
anggaran. Pemerintah tidak memiliki keberanian untuk menyampaikan program yang
telah terealisasi dan penggunaan anggaran kepada publik, karena dalam
perspektif pemerintahan tabu bagi rakyat untuk mengetahui penggunaan anggaran
belanja pemerintah.
5. Budaya
korupsi yang semakin terdistribusi ke daerah-daerah semenjak diberlakukannya
otonomi daerah. Termasuk praktik korupsi lembaga dan institusi pemerintahan.
Perburuan rente dan keuntungan pribadi menjadi kebiasaan pejabat publik dengan
memanfaatkan jabatan dan kewenangannya. Misalnya banyak praktik korupsi pejabat
pemerintah dalam memainkan tender proyek program-program pemerintah. Korupsi
perjalanan dinas, seperti kasus di kabupaten tasikmalaya, dimana fakta
mencengangkan bahwa biaya perjalanan dinas Bupati mencapai 902 juta rupiah.
Angka yang sangat fantastis untuk sebuah kunjungan dinas dari tasikmalaya ke
Jakarta. Praktik korupsi ini semakin memperburuk citra pejabat dan institusi
pemerintahan kita.
6. Keterkaitan
pejabat pemerintahan (birokrasi) dalam politik praktis dan sebagai alat
mobilisasi massa oleh rezim yang berkuasa untuk memenangkan pemilu.
Keterlibatan birokrat dalam politik praktis secara procedural dan kode etik
jelas telah melanggar netralitas birokrasi itu sendiri, namun memang potensi
politisasi birokrasi menjadi sasaran yang sangat empuk untuk dieksploitasi
kepentingan rezim penguasa. Jadi kita sering mendengar, banyak pergantian
kepala-kepala dinas pasca pemilihan kepala daerah. Dan biasanya kepala-kepala
dinas di bidang strategis sering diisi oleh birokrat yang menjadi pendukung
calon kepala daerah yang menang.
Dari
keenam permasalahan diatas, akan berdampak buruk terhadap kualitas tata kelola
pemerintahan kita. Permasalahan-permasalahan tersebut mungkin kita sering mengenalnya
dengan istilah Patologi Birokrasi (Penyakit Birokrasi).[14]
Untuk
menyembuhkan penyakit birokrasi tersebut dalam rangka pelaksanaan otonomi
daerah maka pejabat pemerintah (birokrasi) harus dapat melaksanakan
Undang-Undang Pemerintahan Daerah dengan prinsip aturan dan logika, serta harus
mampu mendistribusikan nilai-nilai ilahiah seperti keadilan, kebenaran, dan
kejujuran sebagai dasar eksistensi hukum di dalam kehidupan masyarakat karena
akar penyebab krisis pelaksanaan otonomi daerah yaitu ada pada penyalahgunaan
wewenang dan korupsi di kalangan birokrasi. Berdasarkan hal tersebut maka
pendidikan hukum berbasis moral dan etika sangat penting diberikan kepada birokrasi
sebagai pranata yang menopang kinerja otonomi daerah karena hal ini dapat
memberikan orientasi yang diperlukan jika terjadi konflik moralitas.
Istilah
moral mengandung integritas dan martabat pribadi manusia yang maknanya
tercermin dari sikap dan tingkah lakunya.[15]
Etika lebih banyak bersifat teori, moral bersifat praktik. Etika membicarakan
bagaimana seharusnya, sementara moral menyatakan ukuran yang baik tentang
tindakan manusia dalam kesatuan sosial tertentu. etika memandang laku perbuatan
manusia secara universal, moral secara tepatan. Moral menyatakan ukuran, etika
menjelaskan ukuran itu. Moral sesungguhnya dibentuk oleh etika. Moral bermuara
atau buah dari etika. Etika adalah mengetahui bagaimana orang seharusnya
bertindak.[16]
Sebagai contoh profesi Kepala Daerah. Dalam kedinasan sehari-hari begitu banyak
godaan yang dihadapi oleh Kepala Daerah. Hal ini karena Kepala Daerah sangat
penting dalam pelaksanaan kebijakan otonomi daerah, sehingga dengan moral dan
etika yang baik maka Kepala Daerah dapat secara kritis dalam mencari orientasi
ketika berhadapan dengan moralitas yang bermacam-macam sehingga dapat mengambil
keputusan untuk mengacu kepada moralitas yang diyakini benar, adil, dan jujur.
Salah
satu kewenangan yang sangat penting dari suatu Daerah yang berwenang mengatur
dan mengurus rumah tangganya sendiri ialah kewenangan untuk menetapkan
Peraturan Daerah. Hak untuk menetapkan Peraturan Daerah disebut hak legislatif
(legislative bevoegdheid, legislative power).[17]
Pemerintah
daerah yang mempunyai kewenangan dalam membentuk suatu peraturan daerah harus
memperhatikan keberadaan hukum lokal (hukum adat). Suprin Na’a berpendapat
bahwa grundnorm (norma dasar) dalam
sistem hukum dan perundang-undangan (legislation
and legal system) di Indonesia adalah adat atau hukum adat. Hukum adat
harus menjadi sumber dari segala sumber hukum, termasuk sember hukum dari semua
peraturan di tingkat daerah (perda, pergub, perbub, perwali, termasuk perdes
dan perkades).[18]
Dalam
perjalanannya peraturan daerah belum berkoherensi secara sempurna dengan hukum
lokal (hukum adat). Hal ini dikarenakan ketidak seimbangan peran antara elit
politik lokal dengan masyarakat. Disamping itu sumber penyimpangan yang terjadi
di daerah amat terkait dengan kelemahan yuridis Undang-Undang Pemerintahan
Daerah yang tidak meletakkan peran Pemerintah Daerah, DPRD dan masyarakat
secara seimbang namun tersentral pada Pemerintah Daerah dan DPRD, sehingga kebijakan
yang diproduk hanya untuk melayani kepentingan dan ambisi pribadi atas nama
Pemerintah Daerah dan DPRD sementara kepentingan masyarakat yang seharusnya
diprioritaskan diabaikan begitu saja.
Membuat
rancangan Peraturan Daerah yang baik sama halnya dengan membuat rancangan
Undang-undang merupakan pekerjaan yang sulit. Sunarjati Hartono mengatakan
bahwa Dalam penciptaan hukum baru inilah
kita butuh keahlian, bukan saja mengenal hal yang khusus yang hendak diatur
oleh undang-undang baru itu (misalnya tentang import-export, atau perindustrian, atau susunan peradilan dan
lain-lain) akan tetapi yang juga dbutuhkan adalah keahlian dari para sarjana
hukum untuk merumuskan undang-undang itu sedemikian rupa, sehingga
menghindarkan adanya side effect atau
lubang-lubang yang dipergunakan orang-orang yang tidak bertanggungjawab untuk
mengacaukan tujuan daripada undang-undang yang diciptakan itu. Bahwa oleh
lembaga-lembaga kita belum cukup diinsyafi, bahwa menciptakan undang-undang itu
bukan merupakan pekerjaan yang amateuristis yang dapat dilakukan oleh setiap
orang (bahkan juga tidak dapat dilakukan oleh setiap sarjana hukum) terbukti
dari ganti-bergantinya dan susul-menyusulnya undang-undang atau peraturan
pemerintah yang lain, yang (tambahan lagi) biasanya dinyatakan berlaku surut.[19]
Merancang
perundang-undangan tidak hanya hanya merupakan soal pengetahuan saja, akan
tetapi ada pula soal seninya. Soal pengetahuan, sepanjang harus mengetahui
secara mendalam masalah yang akan diatur serta kecakapan untuk menguraikannya
dalam bagian-bagiannya yang essensiil, dan soal seni sepanjang harus dapat
mengikhtisarkan gambaran yang diperoleh itu dalam peraturan atau kaidah-kaidah
umum dan menguasainya sedemekian rupa, sehingga peraturan itu tidak hanya
memberikan cukup kepastian, tetapi juga membuka kemungkinan buat perkembangan
di masa yang akan datang. Prof. Mr. L. J. van Apeldoorn mengatakan bahwa
kesenian perundang-undangan kini termasuk kesenian hukum yang utama dan
biasanya di bagi dalam :[20]
1. Politik
perundang-undangan (wetgevingspolitiek),
yakni menetapkan tujuan dan isi peraturan perundang-undangan.
2. Teknik
perundang-undangan, yakni cara merumuskan peraturan-peraturan tersebut
sedemikian rupa, hingga maksud yang dikandung oleh pembentuk peraturan
perundang-undangan dengan jelas ternyata di dalamnya.
Pembentuk
peraturan peraturan perundang-undangan bermaksud memberi arah kepada kehidupan
masyarakat, ia mengatur dan menata segala hubungan masyarakat. Agar
peraturan-peraturan memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat, ia harus
memperhatikan segala faktor yang merupakan dasar hubungan masyarakat, seperti
hukum lokal (hukum adat).
Hukum
adat memiliki corak sebagai berikut:[21]
1. Mempunyai
sifat kebersamaan atau komunal yang kuat. Artinya manusia menurut hukum adat
merupakan makhluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat, rasa kebersamaan
meliputi seluruh lapangan hukum adat.
2. Mempunyai
corak relogio-magis yang berhubungan dengan pandangan hidup alam Indonesia
seperti, balaa’, malapetaka, masolora (kaili), maliwu (saluan), kampunangan,
dll.
3. Hukum
adat diliputi oleh pikiran penataan serba konkrit, artinya hukum adat sangat
memperhatikan banyaknya dan berulang-ulangan perhubungan-perhubungan hidup yang
konflik.
4. Hukum
adat mempunyai sifat visual, artinya perhubungan hukum dianggap terjadi apabila
ditetapkan dengan suatu ikatan yang dapat dilihatnya, misalnya “pemberian”
sebagai penegasan (bevestiging) suatu pertunangan.
Dalam
hal implementasi kebijakan otonomi daerah terhadap keberadaan hukum lokal, perda
pada umumnya mempunyai konsekuensi hukum yang tidak selalu menguntungkan
masyarakat. Banyak dari perda yang ada meneguhkan keberadaan hukum negara
sebagai hukum yang baru dan asing bagi masyarakat di daerah, terutama bila
dikaitkan dengan budaya hukum lokal yang tumbuh dan berkembang, khususnya pada
masyarakat adat. Namun di beberapa
daerah telah ada penyelenggaraan pemerintahan daerah yang bersinergi dengan
keberadaan hukum lokal. Hal ini telah dibuktikan dengan adanya penelitian
disertasi oleh I Nyoman Sukandia berjudul : “Kedudukan Hukum dan Fungsi Lembaga
Perkreditan Desa (LPD) sebagai Lembaga Perekonomian Komunitas dalam Masyarakat
Hukum Adat di Bali”, disertasi program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya Malang, 2012. Ada tiga temuan hasil penelitian disertasi
I Nyoman Sukandia. Ketiga hasil temuan itu, meliputi:
1. Mekanisme
pembentukan, pengurusan, dan pengelolaan LPD berdasarkan hukum adat melalui
perarem, yaitu keputusan yang dihasilkan melalui rapat desa pakraman (peruman
desa) yang secara khusus ditujukan untuk mengatur tentang tata cara
pembentukan, pengurusan dan pengelolaan LPD. Standar mekanisme pembentukan
pengurusan dan pengelolaan LPD diatur dalam produk legislasi daerah (Perda)
yang diterbitkan oleh Pemerintah Provinsi Bali. Produk legislasi ini diterbitkan
berdasarkan Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pengaturan ini menggunakan prinsip self
regulation semi intervensi dan semi otonom;
2. Sistem
hukum perbankan hanya mengatur bank, yaitu suatu badan usaha yang menghimpun
dari masyarakat, baik bank umum, bank perkreditan rakyat, bank campuran, maupun
lembaga keuangan yang bersifat menghimpun dana dari masyarakat. LPD merupakan
badan usaha yang tidak menghimpun dana masyarakat, melainkan hanya dana warga
komunitas kesatuan masyarakat hukum adat;
3. Peranan
Pemerintah Daerah Bali dalam pembinaan dan pengembangan LPD sebagai lembaga
perekonomian komunitas mencakup sebagai:
a. Pengatur,
yaitu menetapkan persyaratan pendirian, standar pengelolaan, dan standar
pengelolaan LPD;
b. Pendukung,
yaitu membantu dari segi pemodalan, menyediakan sistem pengelolaan, dan
menyediakan fasilitas pengembangan SDM;
c. Pembina
dan Pengawas, yaitu menetapkan perizinan, pembinaan dan pengawasan dalam
penyelenggaraan Lembaga Perkreditan.[22]
Untuk
mendirikan lembaga keuangan, baik lembaga keuangan bank dan non bank, maka
pembentuk lembaga itu harus tunduk pada Undang-Undang Perbankan, namun dalam
masyarakat adat di Bali, mereka tunduk pada peraturan-peraturan yang dibuat
melalui rapat desa pakraman. Peraturan yang dibuat melalui rapat tersebut
digunakan untuk pembentukan, pengurusan dan pengelolaan LPD. Dan hasil rapat
inilah yang diadopsi oleh Pemerintah Provinsi Bali sebagai substansi Perda.
Dengan
berpandangan penelitian disertasi tersebut, upaya yang dilakukan oleh
Pemerintah Provinsi Bali dapat dijadikan contoh bagi pemerintah daerah lainnya untuk
mengimplementasikan kebijakan otonomi daerah terhadap keberadaan hukum lokal.
Karena dalam kapasitas peran dan fungsinya, pada kenyataannya para
penyelenggara pemerintahan berada ditengah persoalan gesekan hukum negara dan
hukum lokal di hampir semua daerah. Dalam hal tanggungjawab penetapan dan
penyelenggaraan kebijakan-kebijakan publik maka para penyelenggara pemerintahan
harus memandang keberadaan hukum lokal agar tercipta keselarasan guna
kepentingan hajat hidup masyarakat sehingga kebijakan yang dibuat menjadi
berkualitas serta dapat menjadi payung hukum dan tuntunan pelaksanaan
pemerintahan dan pembangunan di era otonomi daerah saat ini.
E.
Penutup
Implementasi
kebijakan otonomi daerah masih belum dapat bersinergi dengan keberadaan hukum
lokal, hal itu dikarenakan perbedaan paradigma, konseptualisasi nilai-nilai
anutan, prinsip-prinsip dasar dan metode-metode yang digunakan oleh pemerintah
daerah sebagai penyelenggara pemerintahan daerah dapat dikatakan sebagai
penyebab tidak selarasnya antara hukum negara dan hukum lokal. Selain itu
pelaksanaan otonomi belum dapat mengakomodasi kepentingan daerah karena
praktek-praktek penyalahgunaan wewenang dan korupsi politik oleh pranata
penopang kinerja otonomi daerah atau penyelenggara pemerintahan yang menjamur
di berbagai daerah.
DAFTAR
PUSTAKA
I.
Buku
Arinanto,
Satya. Impeachment Dalam Ketatanegaraan
Indonesia. Yogyakarta: UII Press, 2007.
Erwin,
Muhamad. Filsafat Hukum: Refleksi Kritis
terhadap Hukum, Cet.2. Jakarta: Rajawali Pers, 2012.
Falk
Moore, Sally. Hukum dan Perubahan Sosial:
Bidang Sosial Semi-Otonom Sebagai Suatu Topik Studi Yang Tepat, dalam
Antropologi Hukum : Sebuah Bunga Rampai oleh T.O. Ihromi. Jakarta: Yayasan
Obor, 2001.
Griffiths,
Jhon. Memahami Pluralisme Hukum, Sebuah
Deskripsi Konseptual, dalam Pluralisme Hukum Sebuah Pendekatan
Interdisipliner, penerjemah Andri Akbar, dkk. Jakarta: Huma, 2005.
Raharjo,
Satjipto. Hukum dan Masyarakat. Bandung,
Alumni, 1980.
-------------------.
Ilmu Hukum, Cetakan ketujuh. Editor :
Awaludin Marwan. Bandung: PT Citra Aitya Bakti, 2012.
Soejito,
Irawan. Teknik Membuat Peraturan Daerah,
Cetakan Kedua. Jakarta: Bina Aksara, 1989.
Sumardjono,
Maria S.W. Tanah dalam Perspektif Hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya. Jakarta: Kompas, 2008.
II.
Jurnal
Baudouin
Dupret, “Legal Pluralism, Plurality of Laws,
and Legal Practices: Theories, Critiques, and Praxiological Respecification
European”, Journal of Legal Studies: Issue 1, tanpa tahun, hlm 4.
III. Disertasi
I
Nyoman Sukandia. Kedudukan Hukum dan
Fungsi Lembaga Perkreditan Desa (LPD) sebagai Lembaga Perekonomian Komunitas
dalam Masyarakat Hukum Adat di Bali. Disertasi Program Doktor Fakultas
Hukum Universitas Brawijaya Malang, 2012.
IV. Elekronik
Aguzs
Sudrazat, Implementasi Otonomi Daerah Dalam
Perspektif Good Governance
, dalam http://aguzssudrazat.blogspot.com/2013/10/implementasi-otonomi-daerah-dalam.html,
Akses 14 Januari 2014.
http://carakata.blogspot.com/2012/04/jenis-jenis-hukum-yang-berlaku-di-dunia.html,
“Jenis-Jenis Hukum Yang Berlaku Di Dunia”, Akses 12 Januari 2014.
Jimly
Asshiddiqie, Otonomi Daerah dan Parlemen
Di Daerah, makalah disampaikan dalam “Lokakarya tentang Peraturan Daerah
dan Budget Bagi Anggota DPRD se-Propinsi (baru) Banten” yang diselenggarakan
oleh Institute for the Advancement of Strategies and Sciences (IASS), di Anyar,
Banten, 2 Oktober 2000, dalam http://www.legalitas.org
, Akses 13 Januari 2014.
Suprin
Na’a, Dari Kearifan Lokal
Tradisional Menuju Keserakahan Modern , Opini Koran Radar Sulteng tanggal
15 Desember 2010, dalam http://amansulteng.blogspot.com/2010_12_01_archive.html
, Akses 13 Januari 2014.
[1]Muhamad
Erwin, Filsafat Hukum: Refleksi Kritis
terhadap Hukum, Cet.2 (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm 132.
[2]Satjipto
Raharjo, Ilmu Hukum, Cetakan ketujuh,
Editor : Awaludin Marwan (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2012), hlm 53.
[3]
Satya Arinanto, Impeachment Dalam
Ketatanegaraan Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2007), hlm 1.
[4]
Sally Falk Moore, Hukum dan Perubahan
Sosial: Bidang Sosial Semi-Otonom Sebagai Suatu Topik Studi Yang Tepat,
dalam Antropologi Hukum : Sebuah Bunga Rampai oleh T.O. Ihromi, (Jakarta:
Yayasan Obor, 2001), hlm 150.
[5]
http://carakata.blogspot.com/2012/04/jenis-jenis-hukum-yang-berlaku-di-dunia.html,
“Jenis-Jenis Hukum Yang Berlaku Di Dunia”, Akses 12 Januari 2014.
[6]
Satjipto Raharjo, Hukum dan Masyarakat,
(Bandung, Alumni, 1980), hlm 34.
[7]
Jhon Griffiths, Memahami Pluralisme Hukum,
Sebuah Deskripsi Konseptual, dalam Pluralisme Hukum Sebuah Pendekatan
Interdisipliner, penerjemah Andri Akbar, dkk. (Jakarta: Huma, 2005), hlm 69-67.
[8]
Baudouin Dupret, Legal Pluralism,
Plurality of Laws, and Legal Practices: Theories, Critiques, and Praxiological
Respecification European, Journal of Legal Studies: Issue 1, tanpa tahun,
hlm 4.
[9]
Jhon Griffiths…op. cit., hlm 72.
[10]
Maria S.W. Sumardjono, Tanah dalam
Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, (Jakarta: Kompas, 2008), hlm 57.
[11]
Ibid., hlm 57.
[12]
Jimly Asshiddiqie, Otonomi Daerah dan
Parlemen Di Daerah, makalah disampaikan dalam “Lokakarya tentang Peraturan
Daerah dan Budget Bagi Anggota DPRD se-Propinsi (baru) Banten” yang
diselenggarakan oleh Institute for the Advancement of Strategies and Sciences
(IASS), di Anyar, Banten, 2 Oktober 2000, dalam http://www.legalitas.org , Akses 13 Januari
2014.
[13]
Aguzs Sudrazat, “Implementasi Otonomi Daerah Dalam Perspektif Good Governance”,
dalam http://aguzssudrazat.blogspot.com/2013/10/implementasi-otonomi-daerah-dalam.html,
Akses 14 Januari 2014.
[14]
Aguzs Sudrazat, “Implementasi Otonomi Daerah Dalam Perspektif Good Governance”,
dalam http://aguzssudrazat.blogspot.com/2013/10/implementasi-otonomi-daerah-dalam.html,
Akses 14 Januari 2014.
[15]
Muhamad Erwin …op. cit., hlm 82.
[16]
Ibid., hlm 82..
[17]
Irawan Soejito, Teknik Membuat Peraturan
Daerah, Cetakan Kedua (Jakarta: Bina Aksara, 1989), hlm 1.
[18]
Suprin Na’a, “Dari Kearifan Lokal
Tradisional Menuju Keserakahan Modern”, Opini Koran Radar Sulteng tanggal
15 Desember 2010, dalam http://amansulteng.blogspot.com/2010_12_01_archive.html
, Akses 13 Januari 2014.
[19]
Irawan Soejitno..loc. cit., hlm 1.
[20]
Ibid., hlm 3.
[21]
Suprin Na’a, “Dari Kearifan Lokal
Tradisional Menuju Keserakahan Modern", Opini Koran Radar Sulteng
tanggal 15 Desember 2010, dalam http://amansulteng.blogspot.com/2010_12_01_archive.html
, Akses 13 Januari 2014.
[22]
I Nyoman Sukandia, Kedudukan Hukum dan
Fungsi Lembaga Perkreditan Desa (LPD) sebagai Lembaga Perekonomian Komunitas
dalam Masyarakat Hukum Adat di Bali (Disertasi Program Doktor Fakultas
Hukum Universitas Brawijaya Malang, 2012), hlm v.
Komentar
Posting Komentar